EBOLA (Part III) Cerpen
Kamis, 15 Januari 2015
Tulis Komentar
Musim semi tiba. Serbuk
bunga-bunga kastanye disekitar lapangan tenis berhamburan dihempas angin,
melayang-layang diudara terisap hidung siapa saja. Sesak dan pilek
menyerangbanyak orang. Alergi musim semi! Nenek Kruppa pun kena, malah agak
parah. Suaminya ketularan, tetapi tak seberapa parah. Dia terpaksa ganti
membawa Kiki pergi turun ke taman.
“istri saya sakit”,
kata Kakek Kruppa, tepat saat aku mau berangkat. Akupun segan mengucap selamat
pagi karena Kiki mendadak menyalak sangat keras dan bringas.
“Kiki bukan anjing
buas, Nak” kata dia. “coba pegang kepalanya. Dia tidak menggigit.”
Aku tidak membenci
anjing, tapi jangan suruh aku menyentuh. Gang menuju pintu luar flat kami
sangat kecil. Aku terpepet, Kakek Kruppa nekad mendekat ketika aku sukar menghindar.
Pak Tua ini main-main saja “ayo Kiki!” perintahnya. “beri hormat pada tetangga
kita. Jangan diam saja. Itu bikin malu.”
Kakek Kruppa menggamit
punggungku, mendekatkan kepala Kiki ke pipiku dan... astagfirullah, Kiki
tiba-tiba menjilati dagu dan pipiku.
Kakek Kruppa malah
memaksaku memondongnya, anjing kecil semungil kucing dengan pita jingga
dilehernya. Sebuah gerak refleks memaksa tanganku agar Kiki tidak melorort ke
kaki. Tak tahunya, dia justru memanjakan diri di dadaku, menjilat pipi
berkali-kali. Kukira Kiki memang berniat menjilat, karena takut kujerat. Aku
heran, anjing punya kemampuan seperti manusia. Ada bakat penjilat karena takut.
Namun, betapa menjijikannya pipiku dijilat seekor anjing.
“Nah, Tuan percaya
sekarang,” Kakek Kruppa tertawa. “sudah lama sebenarnya Kiki ingin bersahabat
dengan tetangganya.”
“Pale Lu!”
Aku
yakin, Kakek Kruppa pasti tak mengerti dengan ungkapan yang aku lontarkan.
Belum ada Komentar untuk "EBOLA (Part III) Cerpen"
Posting Komentar