Selasa, 13 Januari 2015

Ebola (Part II) Cerpen





Sejauh ini, selama aku tinggal di dalam flat ini memeang tidak ada soal tentang kakek kruppa, Nenek Kruppa dan anjingnya. Akan tetapi suatu hari aku sial, tak terelakan bertemu Nenek Kruppa dengan anjingnya depan undakan menuju pintu luar. Sebatang pohon natal yang kugotong keluar dari kamar anaku karena sudah layu, barangkali sudah membuat Kiki resah lantas jadi bringas. Rasanya tak ada anjing kecil lain seperti Kiki yang menyalak galak ketika melihatku melangkah dibelakang Nenek Kruppa, seolah memperingatkan, “awas ya, awas!! Jangan coba-coba ganggu nenekku!” akupun berhenti melangkah, menunggu hingga mereka berlalu. Kakek kruppa rupanya mendengar lantas nongol keluar diambang pintu rumahnya dengan piyama musim dinginnya.
“Kiki sama sekali tidak galak, kok, Nak. Ketemu kucing saja sudah lari terkaing-kaing.”
Mungkin dikira aku pengecut karena tiap kali ketemu Nenek Kruppa dengan anjingnya aku masih selalu takut dan terkejut mendengar salak si anjing yang melengking-lengking. Tentu saja aku segan mengaku, apa sebabnya aku ngeri mendekati Kiki. Mau bilang najis, kakek kruppa barangkali tak mengerti. Orang Eropa sering kali tak paham pantangan agama islam. Istrinya malah lebih pongaj.
“tidak apa-apa! jangan takut, Kiki tidak menggigit”
Aku malah berhenti melangkah menarik jarak, tak berniat lebih mendekat. Bukan lantaran takut digigit, hanya mereka tak pernah mengerti mengapa aku segan bersentuhan dengan anjingnya. Kulontarkan alasan sekenanya.
“kok selalu menyalak tiap kali melihat saya”
“O, tuan tidak mengerti? Kiki mengucap selamat pagi!” kata Kakek Kruppa. “memang seharusnya dia mengucapkannya dan tidak diam aja seperti tak menghormat adat.”
Aku agak terkesiap, merasa disindir. Kupikir Nenek Kruppa memang menyindir. Tetapi, aku benar-benar lupa untuk menyapa Nenek Kruppa dengan mengucapkan selamat pagi bila Kiki mendadak menyalak. Kusampaikan juga hal itu kepada istriku, namun dia tak mau mengerti, mengapa aku begitu sukar menyapa Nenek Kruppa, seolah aku tak mengenal tata cara kesopanan orang Eropa. Aku berjanji dalam hati, lain kali apa salahnya mengucapkannya bila ketemu nenek kruppa di depan pintu. Bukankah dia  dan suaminya sudah setua bapak-ibuku, sekiranya mereka masih hidup. Yang muda wajib mengalah, menyapa lebih dulu bila ketemu. Namun, tiap kali bila aku hendak menyapa nenek kruppa selalu Kiki menyalak dengan galak. Sejak itu aku benar-benar kehilangan selera buat menyapanya. Aku kian benci pada Kiki.
Pada suatu kesempatan disuatu hari minggu yang cerah, aku sengaja mengejar nenek kruppa ketika dia melangkah rumah tanpa membawa anjingnya. Didepan pintu aku menegurnya.
“selamat pagi, nenek. Hari ini saya dengar Kiki terlalu pagi menyalak-nyalak. Kami sangat terganggu.”
“oh, kenapa terganggu?”
“sebab hari ini minggu, Nek. Tiap hari kami kerja berat. Minggu pagi kami perlu istirahat dan tidur lebih lama. Jam lima tadi Kiki sudah menyalak-nyalak.”
Nenek Kruppa menahan pintu. Aku merasa, dengan itu dia sengaja memaksa agara aku berhenti melangkah, lantas mendengarkan nasihatnya yang benar-benar menggelitik perasaannya.
“tuan muda,” kata Nenek Kruppa “Kiki tahu hari ini minggu. Dia sangat peka mendengar lonceng gereja dipagi buta. Tentu saja dia menyalak-nyalak, menyuruh kita bangun supaya lekas mandi, berdandan rapi, lantas berangkat ke gereja.”
Silakan bilang aku tersinggung. Tetapi kupikir nenek ini menyindir lagi. Dia sengaja mencela kami yang tak pernah tampak hadir untuk duduk dengan khusyuk mendengarkan bapak pastur merapal doa-doa misa sucinya digereja. Ya, barangkali itu kesalahan kami, sebab Nenek Kruppa tahu, sejak anak kami masuk TK, menjelang Natal selalu minta beli pohon Natal seperti punya teman-temannya dikamar mereka. Kami menurutinya dan dia sangat gembira mengundang teman-temannya dalam suasana meriah lagu “Stille Nacht” ditengah cahaya belasan butir marjan yang menyala aneka warna disela-sela dahan Natal. Nenek Kruppa  mungkin mengira kami warga Nasrani. Salah siapa, coba?
“maafkan kami, Nek” kataku, “kami bukan warga Nasrani. Kami hanya pergi kegereja hanya untuk ikut upacara penghormatan jenazah, atau memenuhi undangan upacara perkawinan.
“O, maafkan saya,” kata nenek kruppa. “saya tidak bermaksud mencela siapapun. Memang benar kebiasaan Kiki menyalak-nyalak ketika mendengar lonceng gereja di minggu pagi. Tapi saya pasti akan sia-sia membuat Kiki mengerti, tidak semua orang wajib pergi kegereja di hari minggu.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar