KADO ISTIMEWA ( Oleh Jujur Prananto)
Senin, 23 Maret 2015
13 Komentar
Bu Kustiyah bertekad
bulat menghadiri resepsi pernikahan putra pak Hargi. Tidak bisa tidak. Apapun
hambatannya. Berapapun biayanya. Ini sudah menjadi niatnya sejak lama. Bahwa
suatu saat nanti, kalau Pak Gi mantu ataupun ngunduh mantu, ia akan datang
untuk mengucapkan selamat. Menyatakan kegembiraan. Menunjukan bahwa ia tetap
menghormati Pak Gi, biarpun zaman sudah berubah.
Bu Kus sering bercerita
kepada para tetangganya bahwa pak Hargi adalah atasannya yang sangat ia
hormati. Ia juga mengatakan bahwa Pak Gi adalah seorang pejuang sejati.
Termasuk diantara yang berjuang mendirikan negeri ini. Walaupun Bu Kus Cuma
bekerja di dapur umum, tetapi ia merasa bahagia dan berbangga bisa ikut
berjuang bersama Pak Gi.
Akan tetapi, begitulah
menurut Bu Kus setelah ibu kota kembali ke Jakarta, keadaan banyak berubah. Pak
Hargi ditugaskan dipusat dan Bu Kus hanya sesekali saja mendengar kabar tentang
beliau. Waktu terus berlalu tanpa ada komunikasi. Kekacauan menjelang dan
sesudah Gestapu serasa makin merenggangkan jarak Kalasan-Jakarta. Lalu,
tumbangnya rezim orde lama dan bangkitnya orde barumengukuhkan peran Pak Gi
dilingkungan pemerintahan pusat. Dan ini berarti makin tertutupnya komunikasi
langsung antara Bu Kus dengan Pak Gi. Sebab dalam istilah Bu Kus “kesamaan
cita-cita merupakan pengikat hubungan yang tak terputuskan”.
“soal cita-cita ini
dulu kami sering mengobrolkannya bersama para gerilyawan lain,” demikian kenang
Bu Kus. “dan pada kesempatan seperti itu, pada saat orang-orang lain memimpikan
betapa indahnya kalau kemenangan berhasil dicapai, Pak Gi sering menekankan
bahwa yang tak kalah penting dari perjuangan menentang kembalinya Belanda
adalah berjuang melawan kemiskinan dan kebodohan”.
Tapi
bagaimanapun, meski Bu Kus tetap merasa dekat dengan Pak Gi, ternyata setelah
tiga puluh tahun lebih tak berjumpa, timbul jugalah kerinduan untuk
bernostalgia dan bertatap muka secara langsung dengan beliau. Itulah sebabnya,
ketika ia mendengar kabar bahwa Pak Gi akan menikahkan anaknya, Bu Kus merasa
inilah kesempatan yang sangat tepat untuk berjumpa.
Lewat tengah hari,
selesai makan siang, Bu Kus sudah tak betah lagi tinggal dirumah. Tas kulit
yang berisi pakaian yang siap sejak kemarin diambilnya. Juga sebuah tas
pelastik besar berisi segala macam oleh-oleh untuk para cucu di Jakarta.
Setelah merasa beres dengan tetek bengek ini, Bu Kus pun menyuruh pembantu
perempuannya memanggilkan dokar untuk membawanya ke stasiun kereta.
Belum ada pukul tiga, Bu
Kus sudah duduk di atas peron stasiun. Padahal kereta ekonomi jurusan Jakarta
baru berangkat pukul enam sore nanti. Ke tergesa-gesaannya meninggalkan rumah
akhirnya malah membuatnya bertambah gelisah. Rasanya ingin secepatnya ia sampai
di Jakarta dan bersalam-salaman dengan Pak Gi. Berbincang-bincang tentang masa
lalu. Tentang kenangan-kenangan manis di dapur umum. Tentang nasi yang terpaksa
dihidangkan setengah matang, tentang kurir Natimin yang pintar menyamar,
tentang Nyai Kemuning penghuni tangsi pengisi mimpi-mimpi para bujangan. Ah,
begitu banyaknya cerita-cerita lucu yang rasanya takan terlupakan walaupun
terlibas oleh berputarnya roda zaman.
Peluit kereta api
mengagetkan Bu Kus. Ia langsung berdiri dan tergepoh-gepoh naik ke atas
gerbong.
“nanti saja, Bu! Baru
mau dilangsir!” ujar seorang petugas.
Tapi, Bu Kus sudah
terlanjur berdiri di bordes. “pokoknya saya bisa sampai Jakarta!” kata Bu Kus
dengan ketus.
“nomor tempat duduknya
belum diatur, Bu!” ujar petugas itu.
“pokoknya saya punya
karcis!” jawab Bu Kus.
Dan memang setelah
melalui kegelisahan yang teramat panjang, akhirnya Bu Kus sampai juga di
Jakarta. Wawuk, anak perempuannya, kaget setengah mati melihat pagi-pagi
melihat ibunya muncul di muka rumahnya setelah turun dari taksi sendirian. “ibu
ini nekat! Kenapa tidak kasih kabar dulu? Tanya Wawuk.
“di telegram, kan, saya
bilang mau datang,” jawab Bu Kus.
“tapi, tanggal pastinya
ibu tidak menyebut,” Wawuk berkata dengan lembut.
“yang penting saya
sudah sampai sini!,” ujar Bu Kus.
“bukan begitu, Bu.
Kalau kita tahu persis, kan, bisa jemput ibu di stasiun”.
“saya tidak mau
merepotkan. Lagi pula saya sudah keburu takut bakal ketinggalan resepsi
mantunya Pak Gi. Salahmu juga, tanggal persisnya tidak kamu sebut disurat.”
“ya, Tuhan! Ibu mau
datang ke resepsi itu??”
“kamu sendiri yang
bercerita Pak Gi mau mantu.”
“kenapa ibu tidak
mengatakannya di surat?”
“apa-apa, kok, mesti
laporan.”
“bukan begitu, Bu.”
Wawuk sendiri ragu melanjutkan ucapannya. “ibu kan... tidak di undang?”
“lho, kalo tidak pakai
undangan, apa, ya, lalu ditolak?”
“ya, tidak, tapi siapa
tahu nanti ada pembagian tempat, mana yang VIP mana yang biasa.”
“ah, kayak nonton
wayang orang saja, pakai VIP-VIP-an segala.”
“tapi yang jelas, saya
sendiri juga tidak tahu resepsinya itu persisnya diadakan dimana, hari apa, jam
berapa. Saya tahu rencana perkawinan itu Cuma dengar omongan kiri kanan.”
“suamimu itu, kan,
sekantor dengan Pak Gi. Masa tidak di undang?”
“bukan satu kantor, Bu.
Satu departemen. Lagi pula, Mas Totok itu karyawan biasa, jauh dibawah Pak Gi.
Itu pun bukan bawahan langsung. Jadi, ya, enggak bakal tahu-menahu soal
beginian. Apalagi kecipratan undangan.”
“kan bisa tanya?”
Wawuk menghembuskan
napasnya agak keras.
“ingat, Wuk.” Bu Kus
bicara dengan nada dalam. “aku jauh-jauh datang ke Jakarta ini yang penting
adalah datang pada resepsi pernikahan putra pak Hargi. Lain tidak.”
(dikutip
dari “kado istimewa)
Terima kasih
BalasHapusBagus
HapusSangad bermnfaat, bagi masa depan saya yg passion nya beban keluarga
BalasHapusAwokawowkok
HapusBagus ceritanya
BalasHapusAfa iyah
BalasHapusKok cerpen-nya tidak sampai tamat? Yang dimuat di atas baru separu kurang. Judulnya Kado Istimewa tapi cerita tentang kado malah belum muncul.
BalasHapuswowwwwww bagusss banget 😱😱😱😱
BalasHapusWawww
BalasHapusSlay
BalasHapusBagus
BalasHapusnilai nilai budaya sama nilai agama yang mana ya?
BalasHapusKntl
BalasHapus