EBOLA (Part I)
Selasa, 13 Januari 2015
Tulis Komentar
Bertetangga dengan Kakek
Kruppa bagiku merupakan persoalan tersendiri karena mengubah rutinitas hidup
sehari-hari. Lebih dari setahun sudah aku menyewa rumah ditingkat dua sebuah
flat kawasan Severinverietel tanpa mengalami hal yang paling fatal seperti yang
kualami sejak Kakek Kruppa menempati rumah sewanya ditingkat satu flat itu.
Pasalnya sederhana, hampir setiap pagi saat aku berangkat kerja, Nenek Kruppa
selalu bangun lalu turun kehalaman memondong anjing pudelnya yang terdengar
galak menyalak-nyalak menuntut berak. Mungkin, itupun rutinitas keseharian
seorang perempuan tua yang tak pernah berubah selama punya sahabat berkaki
empat itu, jauh sebelum ia menempati rumah sewanya. Seekor anjing kecil bernama
Kiki yang biasa dimanjakannya, berkalung pita jingga dileher, berbulu tebal
sewarna salju yang sedang melayang-layang menyalak-layak digendongan ketika
melintasi taman disebelah kiri flat kami. Aku hanya mengawasinya dari kejauhan,
Nenek Kruppa melangkah menuju lapangan tenis. Kiki lantas dilepas, dibiarkan
lari dan menyelinap dibalik rumpun pepohonon, mengangkat satu kiri kebelakang,
dan ... criit crit crit, kencing diincrit-incrit.
Nenek Kruppa lantas
berjalan membungkuk-bungkuk menuju sebuah bangku, menyapu lapisan salju dengan
kibasan kaus tangannya untuk duduk menunggu Kiki membuang hajat sepuasnya.
Dengan tawa gembira dilihat si anjing joging, lari sana sini memamerkan
prestasi. Nenek Kruppa tepuk tangan kegirangan seolah anjingnya menang lomba
lari cepat. Lantas tak henti-hentinya lari kian kemari “koomm Kiki, komm!”
terdengar perempuan itu memanggil. Si anjing cepat-cepat melompat, hinggap
dipangkuan Nenek Kruppa untuk mennerima ciuman kekaguman. Betapa manja.
Bila kakek kruppa
membuka jendela rumahnya dengan tepuk tangan, tahulah Nenek Kruppa, saatnya
tiba. Kopi dan sarapan pagi sudah menunggunya.
Aku selalu harus
menunggu hingga Nenek Kruppa melangkah keluar rumah dengan anjingnya. Aku
membuka pintu dan berangkat kerja, diam-diam berjalan jingkat menuju Marcedes
yang kuparkir dipinggir trotoar. Semata-mata hanya untuk menghindari salak
galak Kiki. BERSAMBUNG....
Belum ada Komentar untuk "EBOLA (Part I)"
Posting Komentar