Ebola Part IV (Cerpen)
Rabu, 21 Januari 2015
Tulis Komentar
Musim semipun berakhir.
Kakek Kruppa dan istrinya baru kemarin dulu datang dari Mallorca ketika aku
melihat Kiki lagi setelah beberapa minggu tak melihatnya. Anjing mungil itu
meringkuk diatas bantal dalam keranjang kecil yang dijinjing Nenek Kruppa
memasuki pintu gedung. Aku menyapa Nenek Kruppa bersama anjingnya, “selamat
pagi Kiki, apa kabar?”
Kiki tak bereaksi.
Menyalak juga tidak.
“beginilah kerja
pelayanan Panti Penitipan,” kata Nenek Kruppa. “barangkali dikasih nasi, keruan
tidak doyan. Mestinya havermut campur susu lembu.”
Tipikal perempuan
rewel, kian tua kian rewel. Mungkin aku memang tersinggung. Tapi omongan Nenek
Kruppa sungguh keterlaluan. Bila dia bukan pemakan nasi, mengapa merasa perlu
mengejeku “..... bahkan, anjing seperti Kiki tak doyan nasi!” salah paham
kurasa tidak. Setidaknya tiga kali selama bertetangga, dia pernah melihatku
menurunkan seperempat kuintal beras dari marcedes kecil yang kuparkir didepan
flat kami. Dia mencegt istriku dipintu, melontarkan pertanyaan, “beras lagi?
Rupanya kalian belum biasa makan kentang atau roti ya?” pertanyaan yang
menjengkelkan. Tetapi istriku cukup sabar, menjawab apa adanya, “roti juga
makan, Nek, tapi Cuma waktu sarapan.”
Aku sengaja buang muka
ketika Nenek Kruppa bilang anjingnya cuma makan havermut campur susu lembu. Aku
membalasnya “kasihan Kiki, sekrang kurus sekali, karena engga doyan nasi...”
Tentu saja aku ngawur.
Nenek Kruppa nyengir, tetapi tidak menyidir. “berat badannya susut setengah
kilo,” katanya “saya kira kurang tidur. Bayangkanlah, tiap hari diteror
Rotweiler, anjing ganas yang buas. Coba lihat, Kiki diam saja, pasti mengidap
trauma. Tahukah tuan? Kandangnya berdempetan! Mestinya jauh terpisah.”
Kukira Kiki sakit. Dia
tak akan menggigit. Matanya menatap tanpa kejap seolah lupa siapa aku.
“kalau tahu begini,
pasti kami bawa ke Mallaroca,” sesal Nenek Kruppa. “seratus euro saya bayar
pada Panti Penitipan. Cuma begini perlakuannya!”
“lekas bawa kedokter,
Nek” saranku.
“sudah. Baru ini tadi.
Masih perlu tunggu hasil pemeriksaan darahnya.” Seperti biasa Kakek Kruppa
nongol didepan pintu dengan piyama tebal, padahal cuaca hangat terasa nikmat.
“ayo Kiki!”
perintahnya. “kasih hormat pasa sahabatmu.”
Sahabat?
Ini sudah keterlaluan. Dikira aku sejenis anjingnya? Kakek dan Nenek ini
rupanya sama-sama suka menghina. Atau memang aku yang kelewat perasa? Tapi
biarlah, orang tua seperti mereka mau diapakan lagi. Kiki masih tak bereaksi.
Matanya merah menatap tanpa arah. Aku merasa kasihan. Tanpa pikir panjang,
kupegang pipi Kiki. Tiba-tiba GGGGGRRRRRRRRRRRRRRR, happ! Gigitan yang
mengagetkan! Secepat kilat kutarik tanganku, Kiki menyalak galak. Lupakah dia
padaku? Kakek Kruppa kewalahan, menerkam tengkuk Kiki. Istrinya kedalam rumah,
mengambil salep dan perban. Tanganku tergores gigi Kiki.
Belum ada Komentar untuk "Ebola Part IV (Cerpen)"
Posting Komentar