Jimat Layang Sakadomas
Jumat, 30 Januari 2015
Tulis Komentar
Prabu Siliwangi memiliki dua orang istri yaitu
Nyimas Tejamantri dan Nyimas Padmawati yang menjadi permaisuri. Dari Nyimas
Tejamantri, Prabu Silihwangi mendapat seorang anak yaitu pangeran Guru
Gantangan. Sedangkan dari permaisuri Nyimas Padmawati, raja memperoleh anak
yang diberi nama Mundinglaya. Beda umur antara pangeran Guru Gantangan dan
pangeran Mundinglaya sangat jauh. Saat pangeran Guru Gantangan ditunjuk jadi
bupati di Kutabarang dan sudah menikah, Mundinglaya masih anak-anak.
Karena tidak mempunyai anak, pangeran Guru
Gantangan memungut anak dan diberi nama Sunten Jaya. Guru Gantangan juga
tertarik untuk merawat Mundinglaya sebagai anaknya. Saat pangeran Guru
Gantangan meminta Mundinglaya dari permaisuri Nyimas Padmawati, permaisuri
memberikannya karena mengetahui bahwa pangeran Guru Gantangan sangat menyayangi
pangeran Mundinglaya.
Saat pangeran Mundinglaya dewasa, pangeran Guru
Gantangan lebih menyayangi pangeran Mundinglaya daripada pangeran Sunten Jaya.
Hal ini disebabkan perbedaan karakter yang sangat jauh antara pangeran
Mundinglaya dan pangeran Sunten Jaya. Pangeran Mundinglaya selain rupawan juga baik
budi pekertinya sedangkan keponakannya sifatnya angkuh dan manja. Hal ini
sangat membuat iri pangeran Sunten Jaya. Terlebih lagi ibunya juga sangat
menyayangi pangeran Mundinglaya.
Hanya saja perhatian istri pangeran Guru
Gantangan kepada pangeran Mundinglaya sangat berlebihan sehingga membuat
pangeran Guru Gantangan cemburu. Akhirnya pangeran Mundinglaya dijebloskan
kedalam penjara oleh saudara tirinya itu dengan alasan bahwa pangeran
Mundinglaya mengganggu kehormatan wanita. Keputusan ini menjadikan mayarakat
dan bangsawan Pajajaran terpecah dua, ada yang menyetujui dan ada yang
menentang keputusan tersebut sehingga mengancam ketentraman kerajaan kearah
permusuhan antar saudara.
Pada saat yang gawat ini, terjadi sesuatu yang
aneh. Pada suatu malam, permaisuri Nyimas Padmawati bermimpi aneh. Dalam
tidurnya, permaisuri melihat tujuh guriang, yaitu mahluk yang tinggal di puncak
gunung. Di antara mereka ada yang membawa jimat yang disebut Layang Salaka
Domas. Permaisuri mendengar perkataan guriang yang membawa jimat tersebut:
“Pajajaran akan tenteram hanya jika seorang kesatria dapat mengambilnya dari
Jabaning Langit.”
1
Segera setelah bangun pada pagi harinya,
permaisuri menceritakan mimpi itu kepada raja. Prabu silihwangi sangat tertarik
oleh mimpi permaisuri dan segera meminta seluruh rakyat juga bangsawan,
termasuk pangeran Guru Gantangan dan pangeran Sunten Jaya, untuk berkumpul di
depan halaman istana untuk membahas mimpinya permaisuri. Setelah seluruhnya
berkumpul, raja berkata: “Adakah seorang kesatria yang berani pergi ke Jabaning
Langit untuk mengambil jimat Layang salaka domas?”
Senyap! Tidak ada suara yang terdengar. Pangeran
Sunten Jaya pun tidak mengeluarkan suaranya. Dia takut akan barhadapan dengan
Jonggrang Kalapitung, seorang raksasa berbahaya yang selalu menghalangi jalan
ke puncak gunung. Setelah beberapa saat, patih Lengser angkat bicara: “Paduka,”
dia berkata, “setiap orang telah mendengarkan apa yang disampaikan paduka,
kecuali masih ada satu orang yang belum mendengarkannya. Dia berada dalam
penjara. Paduka belum menanyainya. Dia adalah pangeran Mundinglaya.” Mendengar
ini, raja memerintahkan agar pangeran Mundinglaya dibawa menghadap. Patih
Lengser kemudian meminta izin pangeran guru Gantangan untuk melepaskan pangeran
Mundinglaya.
Saat pangeran Mundinglaya sudah berada di
hadapannya, raja berkata: “Mundinglaya, maukah ananda mengambil jimat layang
salaka domas, yang diperlukan untuk mencegah negara dari kehancuran akibat
malapetaka?” Karena layang salaka domas penting bagi keselamatan negara, ananda
akan pergi mencarinya, ayah,” kata pangeran Mundinglaya.
Prabu Silihwangi sangat senang mendengar jawaban
ini. Demikian juga masyarakat dan para bangsawan. Bagi pangeran Mundinglaya,
tugas ini juga berarti kebebasan jika dia berhasil mendapatkan layang salaka
domas. Sementara bagi pangeran Sunten Jaya ini berarti menyingkirkan musuhnya,
karena dia yakin bahwa pamannya akan dibunuh oleh Jonggrang Kalapitung.
“Kakek,” kata pangeran Sunten Jaya, “dia adalah seorang tahanan, jika kakek
membiarkannya pergi sekarang, tidak akan ada jaminan bahwa dia akan kembali.”
“Apa yang cucunda usulkan, Sunten Jaya?”
“Jika dia tidak kembali setelah sebulan, penjarakan kanjeng ibu
Padmawati dalam istana.” Masyarakat dan bangsawan kaget mendengar permintaan
ini. Prabu Silihwangi berbalik kepada pangeran Mundinglaya: “Bagaimana
menurutmu?”
”Ananda akan kembali dalam sebulan dan setuju dengan usulan Sunten
Jaya.”
Dalam beberap minggu, pangeran Mundinglaya
diajari oleh patih Lengser ilmu perang dan cara menggunakan berbagai senjata
sebagai bersiapan untuk menghadapi rintangan yang akan ditemui selama
perjalanan ke Jabaning Langit.
2
Kemudian pangeran Mundinglaya meninggalkan
Pajajaran. Karena dia tidak pernah keluar dari ibukota tersebut, pangeran
Mundinglaya tidak mengetahui jalan ke Jabaning Langit. Dengan berserah diri
kepada Tuhan yang Maha Kuasa, sang pangeran pergi melewati berbagai hutan lebat
untuk menemukan Jabaning Langit dan bertemu dengan para guriang.
Dalam perjalanan, pangeran Mundinglaya melewati kerajaan kecil
Muara Beres (atau Tanjung Barat) yang merupakan bawahan dari Pajajaran. Disana
pangeran Mundinglaya bertemu dan jatuh hati dengan putri kerajaan yang bernama
Dewi Kania atau Dewi Kinawati. Mereka saling berjanji akan bertemu lagi setelah
pangeran Mundinglaya berhasil menjalankan tugas dari Prabu silihwangi untuk
memperoleh jimat layang salaka domas.
Pangeran Mundinglaya meneruskan perjalanannya.
Tiba-tiba di tengah perjalanan dia dicegat oleh raksasa Janggrang Kalapitung
yang berdiri di depannya. “Mengapa kamu memasuki wilayahku? Apakah kamu
menyerahkan diri sebagai santapanku?”
“Coba saja kalau bisa!” jawab pangeran
Mundinglaya dengan tenang. Jonggrang Kalapitung menubruknya tapi pangeran
Mundinglaya berkelit.
Berkali-kali si raksasa menyerang pangeran Mundinlaya, tapi lagi
dan lagi jatuh ke tanah sampai akhirnya kehabisan napas. Dengan kerisnya,
pangeran Mundinglaya mengancam musuhnya:
“Katakan dimana Jabaning Langit?”
“Di dalam dirimu.” Berpikiran bahwa si raksasa berbohong, pangeran
Mundinglaya menekankan keris lebih dalam ke leher si raksasa. “Jangan
berbohong! Di manakah Jabaning Langit?”
“Di dalam hatimu.” Setelah itu, pangeran Mundinglaya melepaskan
raksasa tersebut, sambil berkata: “Aku membebaskanmu, tapi jangan ganggu rakyat
Pajajaran lagi.” Jonggrang Kalapitung menuruti dan berterima kasih kepada
pangeran Mundinglaya dan meninggalkan Pajajaran selamanya.
Ketika dia pergi, pangeran Mundinglaya menemukan
suatu tempat untuk beristirahat dan berdoa meminta tolong kepada tuhan yang
Maha Esa untuk diberikan jalan. Suatu hari dia merasakan seolah-olah terangkat
dari tempatnya dan terbang ke suatu tempat yang sangat terang. Di sana dia
diterima oleh tujuh guriang, mahluk-mahluk supranatural yang menjaga Layang
Salaka Domas.
Mereka bertanya kepada pangeran Mundinglaya
mengapa berani datang ke Jabaning Langit. “Tujuanku datang ke sini adalah untuk
mengambil Layang Salaka Domas yang diperlukan oleh negaraku sebagai obat untuk
mencegah permusuhan antar saudara.
3
Akan banyak orang menderita dan mati memperebutkan
yang tidak jelas.” “Kami menghargaimu, pangeran Mundinglaya, tapi kami tidak
dapat memberimu Layang Salaka Domas karena ini bukan untuk manusia. Bagaimana
kalau pemberian lain sebagai hadiah untukmu? Misalnya seorang putri cantik atau
kesejahteraan, atau kami dapat menjadikanmu manusia tersuci di dunia?”
“Aku tidak memerlukan semua itu, jika rakyat Pajajaran terlibat
dalam perang.”
“Kalau begitu, kamu harus merebutnya setelah mengalahkan kami.”
Maka terjadilah perkelahian. Karena para guriang sangat kuat, pangeran
Mundinglaya terjatuh dan meninggal. Segera setelah itu, muncul mahluk
supranatural lainnya, yaitu Nyi Pohaci yang menampakkan diri dan menghidupkan
kembali pangeran Mundinglaya. Pangeran Munding Laya bersiap kembali untuk
bertempur dengan para guriang.
“Tida perlu ada lagi pertempuran, karena engkau
telah menunjukkan sifatmu yang sebenarnya,” kata salah satu dari tujuh guriang,
“jujur, tidak tamak. Engkau mempunyai hak untuk membawa Layang Salaka Domas.”
Dan dia kemudian memberikannya kepada pangeran Mundinglaya. Pangeran
Mundinglaya sangat bergembira dan mengucapkan terima kasih. Dia juga berterima
kasih kepada Nyi Pohaci atas bantuannya. Dengan dipandu oleh tujuh guriang yang
kemudian menyebut diri mereka sebagai Gumarang Tunggal, pangeran Mundinglaya
pergi pulang ke Pajajaran.
Di Pajajaran, pangeran sunten Jaya mengganggu
ketentraman permaisuri. Kepada Prabu Silihwangi, pangeran Sunten Jaya
mengatakan bahwa permaisuri sebenarnya tidak bermimpi, bahwa dia berdusta untuk
membebaskan putranya dari penjara. Dengan demikian, dia membujuk Prabu
Silihwangi untuk menghukum mati permaisuri.
Pangeran Sunten Jaya bahkan lebih jauh berniat
untuk mengganggu ketentraman Dewi Kinawati di Muara Beres dengan menceritakan
bahwa pangeran Mundinglaya telah dibunuh oleh Jonggrang Kalapitung. Tentara
digelar untuk mendatangi kerajaan itu. Pada saat yang gawat tersebut, pangeran
Mundinglaya beserta ajudannya telah sampai ke Pajajaran. Mereka senang dan
berteriak kegirangan. Pangeran Sunten Jaya dan pengikutnya diusir.
Setelah itu. Prabu Silihwangi menobatkan
pangeran Mundinglaya sebagai raja Pajajaran menggantikannya dengan gelar
Mundinglaya Dikusumah.
Tidak lama setelah itu, Mundinglaya Dikusumah menikahi Dewi
Kinawati dan menjadikannya sebagai permaisuri dan Pajajaran menjadi negara yang
adil makmur dan aman.
4
Belum ada Komentar untuk "Jimat Layang Sakadomas"
Posting Komentar