Cerpen Kamar Kakek
Kamis, 29 Januari 2015
3 Komentar
KAMAR KAKEK
Indra Tranggono
Diantara anggota keluarga kami,
tidak ada yang berani mengintip kamar tidur kakek. Kamar yang berukuran 5x5
yang terletak dipojok rumah itu selalu terkunci. Untuk tidur, kakek memilih
kamar depan, sebelah ruang tamu.
Tidak ada yang tahu, dimana kakek
menyimpan kunci itu. Ketika kakek pergi ke kota, Jamprang adikku, pernah
berusaha mencari kunci itu. Ia membongkar lemari dan tempat tidur kakek. Sprei
dan kasur amburadul tak karuan. Baru kami tahu, kakek selalu menyimpan uang dan
barang-barang lainnya dibawah kasur, kecuali kamar keramat yang mengandung rasa
penasaran itu.
Jamprang
juga pernah mengintip isi kamar dari lubang kunci. Tapi mendadak kakek
menngetahuinya.
“kurang ajar kamu, lancang kamu! Apa
kamu ingin seperti Dingkik?” bentak kakek.
Bagi kami, Pak Dingkik adalah nama yang
monumental, nama yang selalu kami kenang. Dia pembantu kami yang setia. Matanya
mendadak buta karena dia tak sengaja melihat isi kamat kakek. Peristiwa dua
puluh tahun itu sayup-sayup di telinga kami , anak-anak ayah. Konon, begitu
cerita yang selalu kami dengar, ayah menyuruh Pak Dingkik mencari bangkai tikus
di langit-langit rumah, tepat diatas kamar keramat kakek. Bukan bangkai tikus
yang ditemukan melainkan pemandangan yang membuat Pak Dingkik teriak-teriak
ketakutan. Selang beberapa hari Pak Dingkik sakit, tubuhnya melemah dan
penglihatannya kabur. Beberapa bulan kemudian, ujar kakek, Pak Dingkik buta
total. Kakek mengatakan Pak Dingkik kuwalat.
“Dasar cah ndeso. Lancang. Nggak tahu
sopan santun.” Kakek menumpahkan sumpah serapah.
@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@
Peristiwa naas Pak Dingkik menimbulkan
rasa penasaran kami sekeluarga. Mosok hanya melihat isi kamar saja mata harus
buta? Kami menumi Pak Dingkik, ingin mengorek apa yang dilihatnya dikamar
kakek. Tetapi lelaki kurus itu hanya menggelangkan kepala. Dari sorot matanya,
ada rasa ketakutan menekan dirinya.
Kakek marah karena kami menyaksikan
“kehebatan” kamar keramatnya itu. Ia mengatakan bahwa kami sudah tidak mau lagi
mempercayai tradisi. Aku dan jamprang Cuma tersenyum.
“kalian sudah orang modern yang kebelinger. Setiap tempat itu ada
penjaganya, ada mbaurekso-nya,” ujar
kakek tersinggung.
“Wah, hebat betul mbaurekso kamar kakek, bisa membutakan mata Pak Dingkik,” goda
Jamprang.
“Tidak Cuma mata Pak Dingkik, tapi juga
matamu!”
Kakek menatap Jamprang dengan garang.
Mata itu, meskipun sudah tua, tapi masih menyisakan ketajamannya. Ada api
berkobar dibaliknya. Api itu mendidihkan darah kakek. Kami kasihan melihat
napas kakek tersenggal-senggal. Ayah dengan sigap menguasai keadaan. Kami
disuruhnya pergi, sementara ia memapah kakek ke tempat tidur.
Malamnya, kakek menolak untuk makan
bersama. Ayah dan ibu tampak sedih. Mereka menyesali tingkah laku kami,
terutama Jamprang yang dianggap kurang ajar.
“Saya harap kalian bisa menahan diri,
bagai manapun beliau harus kita hormati. Karena dia kita jadi...” ujar ayah.
“Menghormati, kan, tidak harus menelan
semua pendapat kakek yang tidak masuk akal?” potong Jamprang.
“Saya setuju, tapi caranya kan, tidak
harus kasar begitu. Dalam sisa hidupnya, kita wajib, membahagiakan beliau.”
“Lantas, soal kamar itu, apa ayah
percaya kalau ada penunggunnya. Lebih-lebih penungu yang bisa membuat mata Pak
Dingkik buta. Pak Dingkik buta, kan, karena penyakit gula yang lama
dideritanya. Bahkan, ayah, kan, yang memeriksakannya ke dokter...”
Aku memberanikan diri berbicara.
Ayah tersenyum. “Jangan dikira aku
percaya dengan ucapan kakek. Aku cuman tak ingin melukai perasaannya. Tak ada
gunanya mendebat kakek. Dia selalu merasa paling benar. Diam, jauh lebih baik
saya kira.”
Terdengar batuk-batuk kakek yang agaknya
sengaja dikeraskan. Percakapan kami pun terhenti.
“Gun..., kalau kalian tidak senang aku
tinggal disini, aku bisa tinggal dirumah Murti atau Jarot,” ujar kakek di
tempat tidurnya. Kulihat wajah ayah berubah. Bergegas ia kekamar kakek.
“Kami senang, kok, kakek tinggal disini.
Cucu-cucu kakek ini memang harus diajar bagai mana memuliakan orang tua,” ujar
ayah sambil melirik kami.
“Ah, yang benar. Senang atau sebel.
Terus terang, saya malah senang,” sindir kakek.
Kami tersenyum melihat ayah memainkan
adegan sandiwara yang secara iseng kami beri judul “Anak yang Patuh”. Entah
berapa ratus kali repertoar itu dimainkan, diulang-ulang, tanpa bosan.
@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@
Pada malam-malam tertentu, kakek tak
mengizinkan kami keluar kamar, kami pun harus bisa menjaga ketenangan dan
keheningan rumah. Radio, TV, dan tape recorder harus mati pada pukul 00.00.
pada jam itu, kakek melakukan upacara dikamar keramatnya. Yang tercium kemudian
adalah bau dupa yang merebak ke seluruh ruangan. Aku selalu merasa pusing
setiap mencium bau dupa, belingsatan sendirian serta merta kuhidupkan kipas
angin kuat-kuat. Rupanya suara kipas angin mengganggu kakek.
“Matikan kipas angin...!” ujar kakek
lirih ditengah germang kata-katanya.
Permintaan itu membuat napasku semakin
sesak. Kemarahanku memuncak, tapi gagal meledak begitu aku teringat pesan ayah.
Sembunyi-sembuny aku pun keluar kamar, menerobos malam yang gelap. Duduk
dibawah rimbunan pohon trambesi jauh lebih nyaman. Sambil menatap
bintang-bintang, aku merasa apa yang kulakukan ini konyol. Tapi begitu
terbayang wajah ayah, akupun menyerah.
Darahku terasa berhenti melihat kakek
keluar rumah. Betapa saktinya ia, sampai tahu aku lolos dari kamar. Tapi
anggapanku pun gugur ternyata kakek tidak mengetahui persembunyianku. Ia hanya
mondar-mandir dihalaman rumah sambil terus mengucapkan mantera. Beberapa kali
tangannya diangkat ke udara. Tak jelas apa maksudnya, dalam kegelapan, kulihat
kakek kelihatannya capek. Napasnya turun naik. Ia pun menyandarkan tubuhnya di
kursi taman. Beberapa saat ia bangkit, kemudian duduk lagi. Berualang kali.
Sosok hiyam itu tampak cemas. Seperti ada yang ditunggunya.
Angin malam menampar daun-daun, menampar
wajahku, menampar tubuh kakek. Kakek menaikan krah surjan-nya. Ia bangkit
ketika terdengar deru mobil memasuki halaman rumah. Tiga penumpang turun
disambut kakek. Tak ada percakapan yang bisa kudengar. Yang kulihat hanyalah
empat sosok yang berdiri. Salah satu sosok memberikan bungkusan pada kakek.
Dengan susah payah kakek pun membawa bungkusan itu kerumah. Kemudian
orang-orang itupun meninggalkan rumah.
Rasa penasaran mendorongku apa yang
dikerjakan kakek dikamar keramatnya. Kucari tangga, untuk menaiki langit-langit
rumah. Dengan susah payah kucapai langit-langit itu. Bergerak melata seperti
ular, aku mencari ruang tepat diatas kamar keramat kakek. Ruang itu bisa ku
capai. Segera kutemukan celah antara dua kayu rangka plafon yang lekang
ternganga. Dari sini kulihat seluruh adegan yang berlangsung dibawah.
Didalam kamar, kulihat kakek sedang
menimbun abu hitam. Gundukan itu sudah cukup tinggi. Aku tersentak. Kalau hanya
abu kenapa harus dirahasiakan? Pasti bukan sembarang abu, pikirku.
Tangan kakek meraih beberapa bungkus
abu, kemudian dituang di ember berisi air. Kakek mengaduk-ngaduk kemudian
menenggelamkan kepalanya beberapa menit. Rambut kakek basah kuyup. Beberapa
gumpalan abu dibiarkan menempel dirambutnya. Aku seperti tak percaya ketika
wajah kakek berubah. Ada semacam aura yang memancar, lipatan-lipatan dan
keriput pipi kakek menghilang. Mata kakek pun berkilat-kilat. Ia mengengadah,
melenguh, seperti orang mengalami ekstase.
Beberapa menit kakek pun keluar kamar.
Langkahnya tegap dan gagah. Pintu kamar terkunci rapat. Petualangan tidak
sempurna jika “investigasi” ini tidak tuntas. Maka, aku nekad menjebol salah
satu kotak langit-langit dengan hati-hati. Keringat mengucur, mataku
berkunang-kunang, terlintas nasib Pak Dingkik yang buta. Tapi itu kupahami tak
lebih dari sekedar kekonyolan kakek. Perjuangan itu pun membuahkan hasil.
Lantai kamar bisa kucapai. Segera kuamati timbunan abu hitam.
Aku mencium bau yang aneh. Seperti bau
mayat. Bau kematian. Dalam kegelapan, kurabai abu itu. Aku mendapati butiran-butiran
yang aneh seperti gigi, pangkal tulang, jari-jari.....
Aku merasa berada ditumpukan mayat.
Entah siapa mereka. Entah apa dosa mereka. Entah berapa jumlah mereka. Yang
kutahu, makin banyak orang yang hilang tanpa sebab yang jelas.
Bisa tlong tmbahkan unsur2 intrinsik nya ga min?
BalasHapusBisa tlong tmbahkan unsur2 intrinsik nya ga min?
BalasHapushii serem...
BalasHapus