Kamis, 29 Januari 2015

Cerpen Kamar Kakek



KAMAR KAKEK
Indra Tranggono




            Diantara anggota keluarga kami, tidak ada yang berani mengintip kamar tidur kakek. Kamar yang berukuran 5x5 yang terletak dipojok rumah itu selalu terkunci. Untuk tidur, kakek memilih kamar depan, sebelah ruang tamu.

            Tidak ada yang tahu, dimana kakek menyimpan kunci itu. Ketika kakek pergi ke kota, Jamprang adikku, pernah berusaha mencari kunci itu. Ia membongkar lemari dan tempat tidur kakek. Sprei dan kasur amburadul tak karuan. Baru kami tahu, kakek selalu menyimpan uang dan barang-barang lainnya dibawah kasur, kecuali kamar keramat yang mengandung rasa penasaran itu.
Jamprang  juga pernah mengintip isi kamar dari lubang kunci. Tapi mendadak kakek menngetahuinya.
“kurang ajar kamu, lancang kamu! Apa kamu ingin seperti Dingkik?” bentak kakek.
Bagi kami, Pak Dingkik adalah nama yang monumental, nama yang selalu kami kenang. Dia pembantu kami yang setia. Matanya mendadak buta karena dia tak sengaja melihat isi kamat kakek. Peristiwa dua puluh tahun itu sayup-sayup di telinga kami , anak-anak ayah. Konon, begitu cerita yang selalu kami dengar, ayah menyuruh Pak Dingkik mencari bangkai tikus di langit-langit rumah, tepat diatas kamar keramat kakek. Bukan bangkai tikus yang ditemukan melainkan pemandangan yang membuat Pak Dingkik teriak-teriak ketakutan. Selang beberapa hari Pak Dingkik sakit, tubuhnya melemah dan penglihatannya kabur. Beberapa bulan kemudian, ujar kakek, Pak Dingkik buta total. Kakek mengatakan Pak Dingkik kuwalat.
“Dasar cah ndeso. Lancang. Nggak tahu sopan santun.” Kakek menumpahkan sumpah serapah.
@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@
Peristiwa naas Pak Dingkik menimbulkan rasa penasaran kami sekeluarga. Mosok hanya melihat isi kamar saja mata harus buta? Kami menumi Pak Dingkik, ingin mengorek apa yang dilihatnya dikamar kakek. Tetapi lelaki kurus itu hanya menggelangkan kepala. Dari sorot matanya, ada rasa ketakutan menekan dirinya.
Kakek marah karena kami menyaksikan “kehebatan” kamar keramatnya itu. Ia mengatakan bahwa kami sudah tidak mau lagi mempercayai tradisi. Aku dan jamprang Cuma tersenyum.
“kalian sudah orang modern yang kebelinger. Setiap tempat itu ada penjaganya, ada mbaurekso-nya,” ujar kakek tersinggung.
“Wah, hebat betul mbaurekso kamar kakek, bisa membutakan mata Pak Dingkik,” goda Jamprang.
“Tidak Cuma mata Pak Dingkik, tapi juga matamu!”
Kakek menatap Jamprang dengan garang. Mata itu, meskipun sudah tua, tapi masih menyisakan ketajamannya. Ada api berkobar dibaliknya. Api itu mendidihkan darah kakek. Kami kasihan melihat napas kakek tersenggal-senggal. Ayah dengan sigap menguasai keadaan. Kami disuruhnya pergi, sementara ia memapah kakek ke tempat tidur.
Malamnya, kakek menolak untuk makan bersama. Ayah dan ibu tampak sedih. Mereka menyesali tingkah laku kami, terutama Jamprang yang dianggap kurang ajar.
“Saya harap kalian bisa menahan diri, bagai manapun beliau harus kita hormati. Karena dia kita jadi...” ujar ayah.
“Menghormati, kan, tidak harus menelan semua pendapat kakek yang tidak masuk akal?” potong Jamprang.
“Saya setuju, tapi caranya kan, tidak harus kasar begitu. Dalam sisa hidupnya, kita wajib, membahagiakan beliau.”
“Lantas, soal kamar itu, apa ayah percaya kalau ada penunggunnya. Lebih-lebih penungu yang bisa membuat mata Pak Dingkik buta. Pak Dingkik buta, kan, karena penyakit gula yang lama dideritanya. Bahkan, ayah, kan, yang memeriksakannya ke dokter...”
Aku memberanikan diri berbicara.
Ayah tersenyum. “Jangan dikira aku percaya dengan ucapan kakek. Aku cuman tak ingin melukai perasaannya. Tak ada gunanya mendebat kakek. Dia selalu merasa paling benar. Diam, jauh lebih baik saya kira.”
Terdengar batuk-batuk kakek yang agaknya sengaja dikeraskan. Percakapan kami pun terhenti.
“Gun..., kalau kalian tidak senang aku tinggal disini, aku bisa tinggal dirumah Murti atau Jarot,” ujar kakek di tempat tidurnya. Kulihat wajah ayah berubah. Bergegas ia kekamar kakek.
“Kami senang, kok, kakek tinggal disini. Cucu-cucu kakek ini memang harus diajar bagai mana memuliakan orang tua,” ujar ayah sambil melirik kami.
“Ah, yang benar. Senang atau sebel. Terus terang, saya malah senang,” sindir kakek.
Kami tersenyum melihat ayah memainkan adegan sandiwara yang secara iseng kami beri judul “Anak yang Patuh”. Entah berapa ratus kali repertoar itu dimainkan, diulang-ulang, tanpa bosan.
@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@
Pada malam-malam tertentu, kakek tak mengizinkan kami keluar kamar, kami pun harus bisa menjaga ketenangan dan keheningan rumah. Radio, TV, dan tape recorder harus mati pada pukul 00.00. pada jam itu, kakek melakukan upacara dikamar keramatnya. Yang tercium kemudian adalah bau dupa yang merebak ke seluruh ruangan. Aku selalu merasa pusing setiap mencium bau dupa, belingsatan sendirian serta merta kuhidupkan kipas angin kuat-kuat. Rupanya suara kipas angin mengganggu kakek.
“Matikan kipas angin...!” ujar kakek lirih ditengah germang kata-katanya.
Permintaan itu membuat napasku semakin sesak. Kemarahanku memuncak, tapi gagal meledak begitu aku teringat pesan ayah. Sembunyi-sembuny aku pun keluar kamar, menerobos malam yang gelap. Duduk dibawah rimbunan pohon trambesi jauh lebih nyaman. Sambil menatap bintang-bintang, aku merasa apa yang kulakukan ini konyol. Tapi begitu terbayang wajah ayah, akupun menyerah.
Darahku terasa berhenti melihat kakek keluar rumah. Betapa saktinya ia, sampai tahu aku lolos dari kamar. Tapi anggapanku pun gugur ternyata kakek tidak mengetahui persembunyianku. Ia hanya mondar-mandir dihalaman rumah sambil terus mengucapkan mantera. Beberapa kali tangannya diangkat ke udara. Tak jelas apa maksudnya, dalam kegelapan, kulihat kakek kelihatannya capek. Napasnya turun naik. Ia pun menyandarkan tubuhnya di kursi taman. Beberapa saat ia bangkit, kemudian duduk lagi. Berualang kali. Sosok hiyam itu tampak cemas. Seperti ada yang ditunggunya.
Angin malam menampar daun-daun, menampar wajahku, menampar tubuh kakek. Kakek menaikan krah surjan-nya. Ia bangkit ketika terdengar deru mobil memasuki halaman rumah. Tiga penumpang turun disambut kakek. Tak ada percakapan yang bisa kudengar. Yang kulihat hanyalah empat sosok yang berdiri. Salah satu sosok memberikan bungkusan pada kakek. Dengan susah payah kakek pun membawa bungkusan itu kerumah. Kemudian orang-orang itupun meninggalkan rumah.
Rasa penasaran mendorongku apa yang dikerjakan kakek dikamar keramatnya. Kucari tangga, untuk menaiki langit-langit rumah. Dengan susah payah kucapai langit-langit itu. Bergerak melata seperti ular, aku mencari ruang tepat diatas kamar keramat kakek. Ruang itu bisa ku capai. Segera kutemukan celah antara dua kayu rangka plafon yang lekang ternganga. Dari sini kulihat seluruh adegan yang berlangsung dibawah.
Didalam kamar, kulihat kakek sedang menimbun abu hitam. Gundukan itu sudah cukup tinggi. Aku tersentak. Kalau hanya abu kenapa harus dirahasiakan? Pasti bukan sembarang abu, pikirku.
Tangan kakek meraih beberapa bungkus abu, kemudian dituang di ember berisi air. Kakek mengaduk-ngaduk kemudian menenggelamkan kepalanya beberapa menit. Rambut kakek basah kuyup. Beberapa gumpalan abu dibiarkan menempel dirambutnya. Aku seperti tak percaya ketika wajah kakek berubah. Ada semacam aura yang memancar, lipatan-lipatan dan keriput pipi kakek menghilang. Mata kakek pun berkilat-kilat. Ia mengengadah, melenguh, seperti orang mengalami ekstase.
Beberapa menit kakek pun keluar kamar. Langkahnya tegap dan gagah. Pintu kamar terkunci rapat. Petualangan tidak sempurna jika “investigasi” ini tidak tuntas. Maka, aku nekad menjebol salah satu kotak langit-langit dengan hati-hati. Keringat mengucur, mataku berkunang-kunang, terlintas nasib Pak Dingkik yang buta. Tapi itu kupahami tak lebih dari sekedar kekonyolan kakek. Perjuangan itu pun membuahkan hasil. Lantai kamar bisa kucapai. Segera kuamati timbunan abu hitam.
Aku mencium bau yang aneh. Seperti bau mayat. Bau kematian. Dalam kegelapan, kurabai abu itu. Aku mendapati butiran-butiran yang aneh seperti gigi, pangkal tulang, jari-jari.....
Aku merasa berada ditumpukan mayat. Entah siapa mereka. Entah apa dosa mereka. Entah berapa jumlah mereka. Yang kutahu, makin banyak orang yang hilang tanpa sebab yang jelas.

3 komentar: