Senin, 30 Maret 2015

PERISTIWA PENTING DI SUMEDANG. Part 1



1.      Berdirinya Kerajaan Tembong Agung.


Berdirinya di Citembong Girang Kecamatan Ganeas oleh Prabu Aji Putih kira-kira tahun 900 M Kerajaan ini merupakan cikal bakal Kerajaan Sumedang dan erat kaitannya dengan Kerajaan Galuh sekitar abad 8.
2.       Beridirinya Kerajaan Sumedang Larang
Pendiri Kerajaan Sumedang Larang adalah Prabu Tajmalela yang merupakan putra dari Prabu Aji Putih dari pernikahan Dewi Nawang Wulan atau Ratu Inten. Setelah menjadi Raja, Prabu Tajimalela yang nama aslinya Batara Tuntang Buana atau Batara Tuntang Kusuma memindahkan Kerajaan ke Leuwihideung kecamatan Darmaraja dan mengubah Kerajaan menjadi Sumedang Larang. Beliau menciptakan Ilmu Kasumedangan yaitu “sideku sineku tunggal mapat pancadria” yaitu hubungan antara manusia dengan alam dan manusia dengan manusia.
3.      Riwayat Pangeran Santri.
Beliau adalah penguasa Sumedang Pertama yang beragama islam yang menikah dengan Putri Ratu Inten Dewata yang setelah menjadi Ratu bergelar Ratu Pucuk Umum. Tak lama kemudian kedudukannya digantikan oleh suaminya Pangeran Santri dan bersama-sama menyebarkan agama islam di Sumedang. Setelah menjadi Raja beliau bergelar Pangeran Kusumahdinata.
4.      Penyerahan Lambang Kerajaan Pajajaran (Mahkota Binokasih)

Ketika Pajajaran jatuh akibat serangan Banten, Raja Pajajaran terakhir memerintahkan empat Kendaga Lantenya untuk menyerahkan Mahkota Binokasih sebagai lambang Kerajaan kepada penguasa Sumedang Larang yang saat itu di jabat oleh Pangeran Kusumahdinata. Dengan demikian wilayah Sumedang Larang pun menjadi luas dikarenakan menjadi penerus Kerajaan Padjadjaran sekalipun pda saat itu tidak semua wilayah bekas Kerajaan Padjadjaran tunduk kepada penguasa baru, setidaknya Kerajaan Sumedang Larang memiliki otoritas penuh dan sejajar dengan Banten dan Cirebon.
5.      Peristiwa Harisbaya.
Harisbaya adalah putri cantik pajang berdarah madura, diberikan kepada Panembahan Ratu oleh Aria Panggiri penguasa Mataram waktu itu sebagai imbalan atas jasanya telah membantu dan dalam perebutan tahta Pajang dengan Pangeran Bawono. Pangeran Angkawijaya atau Prabu Geusan Ulun berniat pergi ke Demak yang saat itu pusat agama islam di Indonesia dan sebelum jadi raja pun beliau sering berkunjung ke Demak dimana saat itu bertemu dengan Harisbaya sebelum menikan dengan Panembahan Ratu. Pertemuan ke dua kalinya terjadi di Cirebon yaitu saat Harisbaya telah menjadi istri Panembahan Ratu, cinta adalah jembatan batin yang terbentang dari hati ke hati yang tidak dapat dipungkiri Harisbaya tak tahan menahan rindu kepada Geusan Ulun hingga lupa akan statusnya sebagai istri Panembahan Ratu. Harisbaya yang sudah bertekad meminta Geusan Ulun untuk membawanya pergi dari Cirebon. Atas dukungan Jaya Perkasa dan teman-temannya diputuskan membawa pergi Harisbaya ke sumedang. Tak pelak perang pun pecah tak ada yang menang ataupun kalah, atas anjuran Penguasa Mataram maka Panembahan Ratu menceraikan Harisbaya dan meminta ganti dengan wilayah Sindangkasih yang berada di Majalengka menjadi bagian dari Kesultanan Cirebon dengan demikian konflik pun berakhir.
6.      Pecahnya Kerajaan Sumedang Larang.
Ketika Prabu Geusan Ulun wafat maka Kerajaan pun dibagi dua yaitu, Ciasem, Pamanukan, Karawang, Indramayu (kemudian memisahkan diri) Parakanmuncang, Bandung, dan Sukapura. Wilayah tersebut diberikan kepada Pangeran Suriadiwangsa putra dari Harisbaya dengan ibukotanya di Tegalkalong. Sedangkan, Rangga Gede putra dari Nyi Mas Gedeng Waru diangkat menjadi Bupati memilih Canukur sebagai ibukotanya.
7.      Penyerahan Sumedang Larang ke Mataram.
Di tengah perubahan politik dengan kuatnya pengaruh VOC serta tumbuhnya Kerajaan Mataram sebagai Kerajaan yang kuat, menjadikan Sumedang dihimpit berbagai kepentingan. Hadirnya Banten dan Cirebon sebagai pesaing membuat Pangeran Suriadiwangsa memutuskan untuk bergabung dengan Mataram dengan konsukwensi politik Kerajaan diubah menjadi Kabupaten Wedana.
8.      Penyatuan Kembali Sumedang.
Ketika Pangeran Suriadiwangsa wafat di Mataram. Maka, Pangeran Rangga Gede menyatukan kembali dua Pemerintahan yang sempat terbagi dua. Ibukota yang asalnya di Tegalkalong di pindahkan ke Parumasan kecamatan Paseh.
9.      Merdekanya Sumedang dari Mataram.
Saat Sultan Agung wafat maka digantikan oleh penerusnya yang tidak secakap oleh Sultan Agung, politik VOC yang berlawanan dengan Sultan Agung justru sebalinknya dengan penerus beliau. Maka pada saat tu, tekanan kepada Sumedang berkurang. Sebaliknya, Sumedang dibawah Pangeran Panembahan berusaha menegmmablikan kejayaan yang pernah diraih oleh para pendahulunya.
10.  Peristiwa Tegalkalong.
Yang menarik dari peristiwa ini adalah ketidakpuasan Pangeran Suriadiwangsa I yang meminta tahtanya kepada Pangeran Rangga Gede karena ayahnya sudah wafat. Akan tetapi, Pangeran Rangga Gede menolaknya. Karena sakit hati maka Pangeran Suriadiwangsa II meminta bantuan ke Banten. Kemudaian, Banten sendiri merasa tidak suka akan penerimaan Sumedang semasa Pangeran Santri menerima Mahkota Binokasih sebagai tanda penyerahan atas keberlangsungan Kerajaan Padjadjaran yang notabene adalah rival dari Banten. Ditambah sikap Pangeran Panembahan yang lebih lugas dan berani terhadap cita-cita mengembalikan kejayaan Sumedang. Sadar akan sikap keras Banten maka Pangeran Panembahan merapat ke VOC yang juga merupakan musuh Banten. Pada suatu kesempatan pasukan Banten lolos dari pantuan VOC, didukung oleh pasukan Bugis dan pasukan Bali, tepat pada hari jum’at bertepatan denga Idul Fitri 18 Oktober 1678 di bawah pimpinan Cilikwidara, mereka menyerbu mesjid Tegalkalong yang dipenuhi jemaah yang sedang melaksanakan Sholat Ied, beruntung Pangeran Panembahan berhasil melarikan diri ke Indramayu dan berhasil merebut Sumedang kembali.
11.  Peristiwa Cadas Pangeran.

Pada tahun 1811 Gubernur Jendral W. Deandels, memerintahkan semua Bupati di tanah jawa untuk membantu pembangunan jalan pos antara Anyer dan Banyuwangi. Di Sumedang jalan pos tersebut harus melalui gunung cadas yang keras. Pangeran Kusumadinata dalam menghadapi pekerjaan yang berat nau tidak mau tetap harus dilaksanakan oleh rakyatnya dan tanggung jawabnya sebagai Bupati, setelah mengumpulkan dan mendpatkan persetujuan dari rakyatnnya, maka tugas itu dilaksanakan. Pada tanggal 26 November 1811 mulailah pembongkaran gunung cadas, sistem kerja paksa yang diterapkan oleh Belanda dengan memaksakan membuka medan yang sulit membuat banyak rakyat Sumedang menjadi korban. Dapat dibayangkan membongkar bukit cadas dengan peralatan seadanya hingga akhirnya jadwal pembangunanpun terlambat. Deandels meminta Bupati Pangeran Kusumadinata segera mengerahkan rakyatnya, tetapi Bupati menolaknya.
12.  Pangeran Aria Suria Atmaja atau Pangeran Mekah.

Pada tanggal 31 Januari 1883 beliau diangkat menjadi Bupati dengan gelar Pangeran Aria Suria Atmaja (1883-1919). Setelah 36 tahun memerintah, beliau berhenti dan mendapat pensiun pada tanggal 30 Mei 1919. Dilakukan penyerahan barang Asal Pusaka ti Pinisepuh dan Tina Usaha Kaula Pribadi kepada Tumenggung Kusumadilaga yang menggantikannya. Selanjutnya Tumenggung Kusumadilaga menerima barang-barang yang di wakafkannya pada tanggal 18 Juni 1919 sesuai dengan suratnya agar ikhlas dan sanggup mengurusnya. Untuk menghormati jasa-jasanya. Maka, pada tanggal 25 April 1922 didirikanlah Monumen Lingga di alun-alun Sumedang yang diresmikan oleh Gubernur Jendral D. Fock yang dihadiri oleh Bupati, Residen se-Priangan serta pejabat Belanda dan Pribumi.
13.  Monumen Lingga.
Setelah Pangeran Aria Suria Atmaja meninggal di kota Mekah pada tanggal 1 Juni 1921, Pemerintah Hindia Belanda menganugrahkan Monumen Lingga untuk mengenang jasa-jasa dan pengabdiannya. Pangeran Siching dari Belanda adalah arsitek dari Monumen Lingga tersebut. Adapun peresmiannya dihadiri oleh Gubernur Jendral Hindia Belanda dan para Bupati Residen se-Priangan.
14.  Gerakan Nyi Aciah.
Merupakan gerakan keagamaan pada tahun 1870-1871. Gerakan ini adalah pensucian terhadap Nyi Aciah atau Dewi Inten Manikam karena dianggap sakti, karena bisa menyembuhkan orang sakit. Awalnya gerakan ini dipandang sebelah mata oleh Pemerintah Belanda tetapi lama mendapat pengaruh besar di masyarakat. Pada bulan Mei 1871 Nyi Aciah dan penggeraknya Hasan Muhammad ditangkap dan berakhirlah gerakan tersebut.
15.  Peristiwa Bioskop Pasifik.
Di tahun 1923 berdiri Serikat Rakyat pimpinan Ujag Kaih yang didukung oleh patih sumedang. Serikat rakyat yang beraliensi ke komunis dan seikat hijau yang anggotanya para petani. Serikat rakyat yang radikal selalu mengganggu keamanan Sumedang sampai selalu menghalangi masyarakat yang hendak nonton film ke bioskop pasifik. Akibatnya bioskop sepi, kemudian pihak bioskop pasifik membri diskon ke serikat hijau agar bioskop penuh kembali. Tak terima sikap dari pihak bioskop pasifik, mereka kemudian mereka menyerang anggota serikat hijau dan terjadilah keributa di depan bioskop pasifik. Teriakan orang di dalam bioskop mengundang orang-orang yang berada di sekitar  bioskop dan pasar Sumedang turut menyerang serikat rakyat. Perkelahian massal itu berhenti setelah polisi datang. Pemerintah Belanda menganggap serikat rakyat organisasi yeng perlu diawasi.


Source. Atlas Lengkap Kabupaten Sumedang cetakan 2013
Oleh. M.Asep Sudrajat / Toni Ardi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar