Jumat, 17 Februari 2017

MENENGOK SEPAK TERJANG DI/TII KARTOSOEWIRYO




a.      Sekitar lahirnya DI/TII Kartosoewiryo
Sekar Maji Kartosoewiryo pada mulanya seorang tokoh Partai Serikat Islam Indonesia (PSII) cabang Jawa Barat. Terjadinya perbedaan paham antara Kartosoewiryo dengan tokoh-tokoh PSII lainnya, mendorong ia membentuk Komite Pembela Kebenaran Partai Serikat Islam Indonesia di kecamatan Malngbong Kabupten Garut pada tanggal 24 maret 1940. Hasil pertemuan inilah yang kelak menjadi benih-benih pembentukan DI/TII Kartosoewiryo.
Kartosoewiyo kemudian mendirikan sebuah madrasah modern yang diberi nama “Suffah”. Madrasah itu dibangun diatas tanah seluas empat hektar di daerah antara Malangbong dan Wado. Suffah kemudian di jadikan tempat pelatihan kemiliteran bagi pemuda-pemuda islam, yang khususnya anggota-anggota Hisbullah-Sabilillah yang berasal dari Priangan Timur. Seorang perwira PETA bernama Ateng Jaelani Setiawan adalah seorang pelatih utamanya, yang kemudian dikenal sebagai salah satu tokoh militer DI/TII Kartosoewiryo.
Seperti yang telah diketahui bahwa akibat dari persetujuan Renville, mengharuskan sekitar 35.000 tentara Divisi Siliwangi harus hijrah meninggalkan kota Bandung menuju wilayah Republik Indonesia di Yogyakarta. Akan tetapi, sekitar 4.000 anggota Hiizbullah-Sabilillah tidak mau hijrah menuju Yogyakarta. Mereka tetap tetap tinggal di medan perjuangan Jawa Barat dan bermarkas di Gunung Cupu tepi sungai Citanduy, Ciamis Selatan. Anggota Hisbullah-Sabilillah inilah yang menjadi modal pembentukan Tentara Islam Indonesia (TII/Kartosoewiryo).
Sementara, tentara Divisi Siliwangi sedang berhijrah, Kartosoewiryo pada tanggal 10-11 Februari 1948 menyelenggarakan Konfrensi Islam di desa Pangwekusan, distrik Cisayong Kabupaten Tasikmalaya. Konfrensi dihadiri oleh tokoh-tokoh MASYUMI, GPII, HIZBULLAH dan SABILILLAH.
Hasil keputusan konfrensi adalah pembekuan Masyumi Jawa Barat. Kemudian membentuk :
1.      Majelis Islam (MI).
2.      Tentara Islam Indonesia (TII).
3.      Badan Keamanan Negara (BKN).
4.      Barisan Rakyat Indonesia (BARIS).
5.      Pahlawan Darul Islam (PADI).
Badan Keamanan Negara (BKN) dengan Maklumat Komandan Tertinggi APNI No. 1 tanggal 30 Oktober 1949 diresmikan menjadi Polisi Islam Indonesia. Sedangkan PADI dengan Maklumat tersebut dilebur menjadi Tentara Islam Indonesia (TII). Keputusan-keputusan tersebut kemudian disahkan dalam konfrensi Cipeundeuy pada bulan maret 1948.
Selanjutnya pada tanggal 1 Mei 1948 dilaksanakan Konfrensi Cijoho yang menghasilkan keputusan.
1.      Membentuk Dewan Imamah (Dewan Menteri atau Kabinet) yang diketuai oleh Imam S.M, Kartosoewiryo.
2.      Membentuk dewan Fatuz (Dewan Pertimbangan Agung).
3.      Mempersiapkan Qunun Azasi (UUD), yang intinya menyebutkan bahwa “Negara Islam Indonesia berbentuk Jumhuriyah (Republik) yang dipimpin oleh seorang Imam dengan Quran dan Hadist Sahih sebagai hukum yang tertinggi”. Undang-undang tersebut telah selesai dibuat serta diresmikan pada tanggal 27 Agustus 1948.
Setelah semua persyaratan telah terpenuhi, maka pada tanggal 7 Agustus 1949 S.M. Kartosoewiryo memproklamasikan berdirinya Negara Islam Indonesia yang bertempat di desa Cisempak, Kecamatan Cilugalar Kawedanaan Cisayong-Singaparna Kabupaten Tasikmalaya. Sejak saat itulah DI/TII Kartosoewiryo memperkuat kedudukannya dan mencari dukungan dari segenap rakyat Jawa Barat. Rakyat yang tidak mau mendukung di tindak, dibunuh, dan rumahnya dibakar.
Ketika Tentra Divisi Siliwangi kembali ke Jawa Barat, mereka dicegat oleh gerombolan DI/TII Kartosoewiryo. Tidak sedikit yang dijebak, disembelih, bahkan banyak yang diracun setelah mereka diundang dalam suatu perjamun yang penuh tipu muslihat.
Pertempuran pertama kali antara tentara Divisi Siliwangi dengan gerombolan DI./TII Kartosoewiryo terjadi pada tanggal 25 Januari 1949 di Astralina. Sejak saat itulah bentrokan-bentrokan dengan tentara Divisi Siliwangi, yang berlangsung sekitar 13 tahun lamanya terus berlangsung. Korban di kedua belah pihak berjatuhan. Rakyat Jawa Barat hidup tertekan dan penuh ketakutan oleh gerombolan DI/TII yang ganas dan tidak berprikemanusiaan itu.
b.      Pelaksanaan Penumpasan DI/TII Kartosoewiryo.
Secara resmi pemberontakan DI/TII Kartosoewiryo dilaksanakan sejak keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 59 tahun 1958 yang berlaku sejak tanggal 27 desember 1949. Peraturan tersebut mengesahkan Operasi Militer terhadap Gerombolan DI/TII Kartosoewiryo. Sebenarnya penumpasa DI/TII secara regional oleh Pasukan Divisi Siliwangi telah dimulai sejak tahun 1949. Tetapi gerombolan Kartosoewiryo bukanlah gerombolan sembarangan.
Secara organisasi DI/TII merupakan organisasi yang amat tangguh. Hal ini dikarenakan mereka kebanyakan adalah veteran-veteran Perang Kemerdekaan yang terkena hasutan DI/TII Kartosoewiryo. Puncak kejayaan DI/TII Kartosoewiryo tercapai pada tahun 1957 dengan kekuatan sekitar 13.129 orang yang terdiri atas unsur tempur, teritorial, personil lainnya dengan dilengkapi persenjataan sekitar 3.000 pucuk dari berbagai jenis, termasuk 200 brengun dan 20 mortir. Selain itu, kekuatannya telah menyebar hampir di seluruh pedalaman wilayah Jawa Barat.
DI/TII Kartosoewiryo merupakan gerombolan yang paling kuat dan luas dibandingkan dengan pemberontakan kedaerahan lainnya. Mereka adalah para gerilyawan yang terlatih serta berpengalaman dalam berperang. Guna menumpas gerombolan DI/TII yang berkekuatan lebih dari 13.000 orang itu TNI perlu mengerahkan kekuatan secara besar-besaran.
Selain dari operasi militer, pemerintah juga mengerahkan massa rakyat yang dikenal dengan sebutan pagar betis. Maksud dari pengerahan pagar betis yaitu untuk menyisir dan menghadang pelarian dan persembunyian gerombolan DI/TII di daerah pedalaman. Dengan cara demikian, maka ruang gerak gerombolan menjadi sempit dan terdesak.
TNI-AD dalam menumpas gerombolan DI/TII Kartosoewiryo menerapkan kopnsepsi Perang Wilayah, yang berlandaskan kepada UUD 1945 pasal 30 ayat 1, yang berbunyi “Tiap-Tiap Warga Negara Berhak Dan Wajib Ikut Serta Dalam Pembelaan Negara”. Konsepsi perang wilayah itu dituangkan dalam Ketetapan MPRS Nomor II/MPRS/1960. Untuk melakukan Operasi Penumpasan dikerahkan TNI Divisi Siliwangi yang diperkuat juga oleh satuan-satuan TNI lainnya.
Kekejaman yang dilakukan DI/TII Kartosoewiryo menyebabkan TNI memerintahkan “Perintah Perang Tanpa Kembali” sejak tanggal 11 Juni 1961 tepat pukul 07.00 WIB. Perintah Perang Tanpa Kembali mengisyaratkan bahwa DI/TII Kartosoewiryo harus dihdapi secara tegas dan keras, serta tanpa mengenal kompromi.
Gerakan TNI gelombang I sebagai fase orientasi selesai dilksanakan tanggal 11 April 1962. Gerakan ini berhasil mengobrak-abrik gerombolan DI/TII Kartosoewiryo sehingga menjadi terpencar-pencar. Tekanan-tekanan yang demikian hebat dari pihak TNI yang dibantu oleh Pagar Betis menyebabkan satu demi satu tokoh-tokoh DI/TII Kartosoewiryo menyerahkan diri yang kemudian diikuti oleh anak buahnya.
Adah Jaelani Tirtapraja, Panglima Divisi DI/TII Kandang Wesi menyerahkan diri bersama istrinya kepada Batalyon 305 pada tanggal 28 Mei 1962 sekitar pukul 13.00 WIB. Sebelumnya telah menyerahkan diri Haji Zaenal Abidin, Ateng Jaelani Setiawan dan Toha Makhfudin. Menyerahnya tokoh-tokoh DI/TII tersebut tentu saja sangat mempengaruhi gerombolan DI/TII lainnya. Waktu itu yang masih bertahan di hutan ialah Agus Abdullah dan Aceng Kurnia yang menjadi pengawal setia S.M.Kartosoewiryo.
Pada tanggal 2 Juni 1962 diterima laporan dari Kompi II batalyon 327, bahwa di kampung Pangauban Pacet Kabupaten Bandung telah terjadi perampokan oleh 7 orang DI/TII Kartosoewiryo. Kompi C Batalyon 328 Para Kujang II/Siliwangi dibawah pimpinan Letda Suhada mengejar terus jejak gerombolan tersebut. Pada tanggal 6 Juni 1962 Pangdam VI/Siliwangi menyerukan agar Kartosoewiryo beserta seluruh anak buahnya menyerahkan diri dan kembali ke masyarakat.
Pada tanggal 4 Juni 1962 pukul 11.35 WIB S.M Kartosoewiryo beserta para pengawalnya yang sedang bersembunyi di dalam gubuk yang berada di daerh Gunung Geber Majalaya, Priangan Timur berhasil ditangkap hidup-hidup oleh satuan Kompi C Batalyon 328 Kujang II/Siliwangi.
Tertangkapnya Kartosoewiryo berduyun-duyunlah anak buah beserta keluarga gerombolan DI/TII menyerahkan diri kepada satuan-satuan TNI ABRI. Mahkamah Angkatan Darat dalam keadaan perang untuk Jawa dan Madura mengadili Kartosoewiryo. Setelah bersidang dari tanggal 14-16 Agustus 1962. Mahkamah menjatuhkan hukuman mati kepada S.M.Kartosoewiryo. keputusan tersebut diumumkan pad tanggal 16 Agustus 1962.
Kartosoewiryo kemudian mengajukan grasi kepada Presiden Soekarno pada tanggal 12 September 1962, akan tetapi oleh Presiden secara tegas ditolak. Pada waktu itu, tersiar hukuman mati secara tembak kepada S.M.Kartosoewiryo. dengan dijatuhkannya hukuman mati kepada Sekar Maji Kartosoewiryo sebagai pimpinan DI/TII di Jawa Barat berkhirlah petualangan DI/TII Kartosoewiryo yang telah menimbulkan banyak korban di kalangan rakyat Jawa Barat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar