Jumat, 09 Juni 2023

LP DAN MAKALAH TENTANG ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN PENURUNAN KESADARAN DAN KOMA

A.    Anatomi Otak

Otak mungkin merupakan organ yang paling mengagumkan dari seluruh organ. Kita mengetahui bahwa seluruh angan – angan, keinginan dan nafsu, perencanaan dan memori merupakan hasil akhir dari aktivitas otak. Otak berisi 10 miliar neuron yang menjadi kompleks secara kesatuan fungsional. Otak lebih kompleks daripada batang otak. Berat otak manusia kira – kira merupakan 2% dari berat badan orang dewasa. Otak menerima 15 % dari curah jantung, memerlukan sekitar 20 % pemakaian oksigen tubuh, dan sekitar 400 kalori energi setiap hari.


Otak merupakan jaringan yang paling banyak memakai energi dalam seluruh tubuh manusia dan terutama berasal dari proses metabolisme oksidasi glukosa. Jaringan otak sangat rentan dan kebutuhan akan oksigen dan glukosa melalui aliran darah adalah konstan. Metabolisme otak merupakan proses tetap dan kontinu, tanpa ada masa istirahat. Bila aliran darah berhenti 10 detik saja, maka kesadaran mungkin sudah akan hilang, dan penghentian dalam beberapa menit saja dapat menimbulkan kerusakan yang irreversible. Hipoglikemia yang berkepanjangan juga dapat merusak jaringan otak. Aktivitas otak yang tidak pernah berhenti ini berkaitan dengan fungsinya yang kritis sebagai pusat integrasi dan koordinasi organ-organ sensorik dan sistem efektor perifer tubuh, disamping berfungsi sebagai pengatur informasi yang masuk, simpanan pengalaman, impuls yang keluar dan tingkah laku.

Otak manusia mengandung hampir 98% jaringan saraf tubuh. Kisaran berat otak sekitar 1,4 kg dan mempunyai isi sekitar 1200cc. terdapat pertimbangan variasi akan besaran otak, yaitu otak laki – laki lebih besar 10% daripada otak perempuan dan tidak ada kolerasi yang berarti antara besar otak dan tingkat intelegen. Seseorang dengan ukuran otak kecil (750cc) dan ukuran otak besar (2100cc) secara fungsinal sama (Simon dan Schuster,1998).

Otak merupakan suatu alat tubuh yang sangat penting karena merupakan pusat komputer semua alat tubuh, bagian dari semua saraf sentral yang terletak di dalam rongga tengkorak (kranium) yang dibungkus oleh selaput otak yang kuat. Otak dibagi menjadi empat bagian, yaitu:

1.     Cerebrum (Otak Besar)

                  Cerebrum adalah bagian terbesar dari otak manusia yang juga disebut dengan nama cerebral cortex, forebrain atau otak depan. Cerebrum merupakan bagian otak yang membedakan manusia dengan binatang. Cerebrum membuat manusia memiliki kemampuan berpikir, analisa, logika, bahasa, kesadaran, perencanaan, memori dan kemampuan visual. Kecerdasan intelektual atau IQ Anda juga ditentukan oleh kualitas bagian ini.

                  Cerebrum secara terbagi menjadi 4 (empat) bagian yang disebut lobus. Bagian lobus yang menonjol disebut gyrus dan bagian lekukan yang menyerupai parit disebut sulcus. Keempat lobus tersebut masing-masing adalah :

a.      Lobus frontal merupakan bagian lobus yang ada dipaling depan dari otak besar. Lobus ini berhubungan dengan kemampuan membuat alasan, kemampuan gerak, kognisi, perencanaan, penyelesaian masalah, memberi penilaian, kreativitas, kontrol perasaan, kontrol perilaku seksual dan kemampuan bahasa secara umum.

b.     Lobus parietal berada di tengah, berhubungan dengan proses sensor perasaan seperti tekanan, sentuhan dan rasa sakit.

c.      Lobus temporal berada di bagian bawah berhubungan dengan kemampuan pendengaran, pemaknaan informasi dan bahasa dalam bentuk suara.

d.     Lobus occipital ada di bagian paling belakang, berhubungan dengan rangsangan visual yang memungkinkan manusia mampu melakukan interpretasi terhadap objek yang ditangkap oleh retina mata.

                   Selain dibagi menjadi 4 lobus, cerebrum (otak besar) juga bisa dibagi menjadi dua belahan, yaitu belahan otak kanan dan belahan otak kiri. Kedua belahan itu terhubung oleh kabel-kabel saraf di bagian bawahnya. Secara umum, belahan otak kanan mengontrol sisi kiri tubuh, dan belahan otak kiri mengontrol sisi kanan tubuh. Otak kanan terlibat dalam kreativitas dan kemampuan artistik. Sedangkan otak kiri untuk logika dan berpikir rasional.Kedua belahan itu terhubung oleh kabel-kabel saraf di bagian bawahnya. Secara umum, belahan otak kanan mengontrol sisi kiri tubuh, dan belahan otak kiri mengontrol sisi kanan tubuh. Otak kanan terlibat dalam kreativitas dan kemampuan artistik. Sedangkan otak kiri untuk logika dan berpikir rasional.

2.     Cerebellum (Otak Kecil)

                  Otak kecil atau cerebellum terletak di bagian belakang kepala, dekat dengan ujung leher bagian atas. Cerebellum mengontrol banyak fungsi otomatis otak, diantaranya: mengatur sikap atau posisi tubuh, mengkontrol keseimbangan, koordinasi otot dan gerakan tubuh. Otak kecil juga menyimpan dan melaksanakan serangkaian gerakan otomatis yang dipelajari seperti gerakan mengendarai mobil, gerakan tangan saat menulis, gerakan mengunci pintu dan sebagainya.

                  Jika terjadi cedera pada otak kecil, dapat mengakibatkan gangguan pada sikap dan koordinasi gerak otot. Gerakan menjadi tidak terkoordinasi, misalnya orang tersebut tidak mampu memasukkan makanan ke dalam mulutnya atau tidak mampu mengancingkan baju.

3.     Brainstem (Batang Otak)

                  Batang otak (brainstem) berada di dalam tulang tengkorak atau rongga kepala bagian dasar dan memanjang sampai ke tulang punggung atau sumsum tulang belakang. Bagian otak ini mengatur fungsi dasar manusia termasuk pernapasan, denyut jantung, mengatur suhu tubuh, mengatur proses pencernaan, dan merupakan sumber insting dasar manusia yaitu fight or flight (lawan atau lari) saat datangnya bahaya. Batang otak terdiri dari empat bagian, yaitu:

a.      Diensepalon adalah bagian batang otak paling atas, terdapat diantara serebellum dengan mesensepalon.

b.     Mesensepalon atau otak tengah (disebut juga mid brain) adalah bagian teratas dari batang otak yang menghubungkan otak besar dan otak kecil. Otak tengah berfungsi dalam hal mengontrol respon penglihatan, gerakan mata, pembesaran pupil mata, mengatur gerakan tubuh dan pendengaran.

c.      Medulla oblongata adalah titik awal saraf tulang belakang dari sebelah kiri badan menuju bagian kanan badan, begitu juga sebaliknya. Medulla mengontrol funsi otomatis otak, seperti detak jantung, sirkulasi darah, pernafasan, dan pencernaan.

Pons merupakan stasiun pemancar yang mengirimkan data ke pusat otak bersama dengan formasi reticular. Pons yang menentukan apakah kita terjaga atau tertidur 

4.     Limbic System (Sistem Limbik)

Sistem limbik terletak di bagian tengah otak, membungkus batang otak ibarat kerah baju. Limbik berasal dari bahasa latin yang berarti kerah. Komponen limbik antara lain hipotalamus, thalamus, amigdala, hipocampus dan korteks limbik. Sistem limbik berfungsi menghasilkan perasaan, mengatur produksi hormon, memelihara homeostasis, rasa haus, rasa lapar, dorongan seks, pusat rasa senang, metabolisme dan juga memori jangka panjang.


Bagian terpenting dari sistem limbik adalah hipotalamus yang salah satu fungsinya adalah bagian memutuskan mana yang perlu mendapat perhatian dan mana yang tidak. Sistem limbik menyimpan banyak informasi yang tak tersentuh oleh indera. Dialah yang lazim disebut sebagai otak emosi atau tempat bersemayamnya rasa cinta dan kejujuran. Carl Gustav Jung  menyebutnya sebagai "Alam Bawah Sadar" atau ketidaksadaran kolektif, yang diwujudkan dalam perilaku baik seperti menolong orang dan perilaku tulus lainnya. LeDoux mengistilahkan sistem limbik ini sebagai tempat duduk bagi semua nafsu manusia, tempat bermuaranya cinta, penghargaan dan kejujuran.

B.    Kesadaran

Kesadaran menurun dengan derajat paling berat dikenal sebagai koma, merupakan kasus kedaruratan neurologik yang memerlukan tindakan yang tepat, cepat dan cermat. Penyebab kesadaran menurun beragam dengan karakteristik masing-masing. Untuk mendiagnosis kesadaran menurun dan penyebabnya, diperlukan anamnesis, pemeriksaan fisik (status internus) dan neurologik secara sistematik dan menyeluruh disertai pemeriksaan penunjang yang relevan. Penatalaksanaan pasien dengan kesadaran menurun harus bersifat antisipatif dan bukannya reaktif, dengan kecepatan dan kecermatan tindakan sesuai prosedur tetap yang berlaku.


Penurunan kesadaran mempunyai berbagai derajat. Gangguan kesadaran yang maksimal (koma) didefinisikan sebagai “unarousable unresponsiveness” yang berarti “the absence of any psychologically understandable response to external stimulus or inner need”, tiadanya respons fisiologis terhadap stimulus eksternal atau kebutuhan dalam diri sendiri (Plum, Saper, & Schiff, 2007).

C.    Fisiologi Kesadaran

Secara fisiologik, kesadaran memerlukan interaksi yang terus-menerus dan efektif antara hemisfer otak dan formasio retikularis di batang otak. Kesadaran dapat digambarkan sebagai kondisi awas-waspada dalam kesiagaan yang terus menerus terhadap keadaan lingkungan atau rentetan pikiran kita. Hal ini berarti bahwa seseorang menyadari seluruh asupan dari panca indera dan mampu bereaksi secara optimal terhadap seluruh rangsangan baik dari luar maupun dari dalam tubuh. Orang normal dengan tingkat kesadaran yang normal mempunyai respon penuh terhadap pikiran atau persepsi yang tercermin pada perilaku dan bicaranya serta sadar akan diri dan lingkungannya. Dalam keseharian, status kesadaran normal bisa mengalami fluktuasi dari kesadaran penuh (tajam) atau konsentrasi penuh yang ditandai dengan pembatasan area atensi sehingga berkurangnya konsentrasi dan perhatian, tetapi pada individu normal dapat segera mengantisipasi untuk kemudian bisa kembali pada kondisi kesadaran penuh lagi. Mekanisme ini hasil dari interaksi yang sangat kompleks antara bagian formasio retikularis dengan korteks serebri dan batang otak serta semua rangsang sensorik.

Pada saat manusia tidur, sebenarnya terjadi sinkronisasi bagian-bagian otak. Bagian rostral substansia retikularis disebut sebagai pusat penggugah atau arousal centre, merupakan pusat aktivitas yang menghilangkan sinkronisasi (melakukan desinkronisasi), di mana keadaan tidur diubah menjadi keadaan awas waspada. Bila pusat tidur tidak diaktifkan maka pembebasan dari inhibisi mesensefalik dan nuklei retikularis pons bagian atas membuat area ini menjadi aktif secara spontan. Keadaan ini sebaliknya akan merangsang korteks serebri dan sistem saraf tepi, yang keduanya kemudian mengirimkan banyak sinyal umpan balik positif kembali ke nuklei retikularis yang sama agar sistem ini tetap aktif. Begitu timbul keadaan siaga, maka ada kecenderungan secara alami untuk mempertahankan kondisi ini, sebagai akibat dari seluruh ativitas umpan balik positif tersebut.

Masukan impuls yang menuju SSP yang berperan pada mekanisme kesadaran pada prinsipnya ada dua macam, yaitu input yang spesifik dan non-spesifik. Input spesifik merupakan impuls aferen khas yang meliputi impuls protopatik, propioseptif dan panca-indera. Penghantaran impuls ini dari titik reseptor pada tubuh melalui jaras spinotalamik, lemniskus medialis, jaras genikulo-kalkarina dan sebagainya menuju ke suatu titik di korteks perseptif primer. Impuls aferen spesifik ini yang sampai di korteks akan menghasilkan kesadaran yang sifatnya spesifik yaitu perasaan nyeri di kaki atau tempat lainnya, penglihatan, penghiduan atau juga pendengaran tertentu. Sebagian impuls aferen spesifik ini melalui cabang kolateralnya akan menjadi impuls non-spesifik karena penyalurannya melalui lintasan aferen non-spesifik yang terdiri dari neuron-neuron di substansia retikularis medulla spinalis dan batang otak menuju ke inti intralaminaris thalamus (dan disebut neuron penggalak kewaspadaan) berlangsung secara multisinaptik, unilateral dan lateral, serta menggalakkan inti tersebut untuk memancarkan impuls yang menggiatkan seluruh korteks secara difus dan bilateral yang dikenal sebagai diffuse ascending reticular system. Neuron di seluruh korteks serebri yang digalakkan oleh impuls aferen non-spesifik tersebut dinamakan neuron pengemban kewaspadaan. Lintasan aferen non-spesifik ini menghantarkan setiap impuls dari titik manapun pada tubuh ke titik-titik pada seluruh sisi korteks serebri. Jadi pada kenyataannya, pusat-pusat bagian bawah otaklah yaitu substansia retikularis yang mengandung lintasan non-spesifik difus, yang menimbulkan “kesadaran” dalam korteks serebri.

Derajat kesadaran itu sendiri ditentukan oleh banyak neuron penggerak atau neuron pengemban kewaspadaan yang aktif. Unsur fungsional utama neuron-neuron ialah kemampuan untuk dapat digalakkan sehingga menimbulkan potensial aksi. Selain itu juga didukung oleh proses-proses yang memelihara kehidupan neuron-neuron serta unsur-unsur selular otak melalui proses biokimiawi, karena derajat kesadaran bergantung pada jumlah neuron-neuron tersebut yang aktif. Adanya gangguan baik pada neuron-neuron pengemban kewaspadaan ataupun penggerak kewaspadaan akan menimbulkan gangguan kesadaran. 

D.    Patofisiologi Kesadaran Menurun

Patofisiologi menerangkan terjadinya kesadaran menurun sebagai akibat dari berbagai macam gangguan atau penyakit yang masing-masing pada akhirnya mengacaukan fungsi reticular activating system secara langsung maupun tidak langsung. Dari studi kasus-kasus koma yang kemudian meninggal dapat dibuat kesimpulan, bahwa ada tiga tipe lesi /mekanisme yang masing-masing merusak fungsi reticular activating system, baik secara langsung maupun tidak langsung.

1.     Disfungsi otak difus

a.      Proses metabolik atau submikroskopik yang menekan aktivitas neuronal.

b.     Lesi yang disebabkan oleh abnormalitas metabolik atau toksik atau oleh pelepasan general electric (kejang) diduga bersifat subseluler atau molekuler, atau lesi-lesi mikroskopik yang tersebar.

c.      Cedera korteks dan subkorteks bilateral yang luas atau ada kerusakan thalamus yang berat yang mengakibatkan terputusnya impuls talamokortikal atau destruksi neuron-neuron korteks bisa karena trauma (kontusio, cedera aksonal difus), stroke (infark atau perdarahan otak bilateral).

d.     Sejumlah penyakit mempunyai pengaruh langsung pada aktivitas metabolik sel-sel neuron korteks serebri dan nuclei sentral otak seperti meningitis, viral ensefalitis, hipoksia atau iskemia yang bisa terjadi pada kasus henti jantung.

e.      Pada umumnya, kehilangan kesadaran pada kondisi ini setara dengan penurunan aliran darah otak atau metabolisme otak.

2.     Efek langsung pada batang otak

a.      Lesi di batang otak dan diensefalon bagian bawah yang merusak/menghambat reticular activating system.

b.     Lesi anatomik atau lesi destruktif terletak di talamus atau midbrain di mana neuron-neuron ARAS terlibat langsung.

c.      Lebih jarang terjadi.

d.     Pola patoanatomik ini merupakan tanda khas stroke batang otak akibat oklusi arteri basilaris, perdarahan talamus dan batang otak atas, dan traumatic injury.

3.     Efek kompresi pada batang otak

a.      Kausa kompresi primer atau sekunder

b.     Lesi masa yang bisa dilihat dengan mudah.

c.      Massa tumor, abses, infark dengan edema yang masif atau perdarahan intraserebral, subdural maupun epidural. Biasanya lesi ini hanya mengenai sebagian dari korteks serebri dan substansia alba dan sebagian besar serebrum tetap utuh. Tetapi lesi ini mendistorsi struktur yang lebih dalam dan menyebabkan koma karena efek pendesakan (kompresi) ke lateral dari struktur tengah bagian dalam dan terjadi herniasi tentorial lobus temporal yang berakibat kompresi mesensefalon dan area subthalamik reticular activating system, atau adanya perubahan-perubahan yang lebih meluas di seluruh hemisfer.

d.     Lesi serebelar sebagai penyebab sekunder juga dapat menekan area retikular batang otak atas dan menggesernya maju ke depan dan ke atas.

e.      Pada kasus prolonged coma, dijumpai perubahan patologik yang terkait lesi seluruh bagian sistim saraf korteks dan diensefalon.

Berdasar anatomi-patofisiologi, koma dibagi dalam:

1.     Koma kortikal-bihemisferik, yaitu koma yang terjadi karena neuron pengemban kewaspadaan terganggu fungsinya.

2.     Koma diensefalik, terbagi atas koma supratentorial, infratentorial, kombinasi supratentorial dan infratentorial; dalam hal ini neuron penggalak kewaspadaan tidak berdaya untuk mengaktifkan neuron pengemban kewaspadaan.

Sampai saat ini mekanisme neuronal pada koma belum diketahui secara pasti. Dalam eksperimen, jika dilakukan dekortikasi atau perusakan inti intralaminar talamik atau jika substansia grisea di sekitar akuaduktus sylvii dirusak akan terjadi penyaluran impuls asenden nonspesifik yang terhambat sehingga terjadi koma. Studi terkini yang dilakukan oleh Parvizi dan Damasio melaporkan bahwa lesi pada pons juga bisa menyebabkan koma.

Koma juga bisa terjadi apabila terjadi gangguan baik pada neuron penggalak kewaspadaan maupun neuron pengemban kewaspadaan yang menyebabkan neuron-neuron tersebut tidak bisa berfungsi dengan baik dan tidak mampu bereaksi terhadap pacuan dari luar maupun dari dalam tubuh sendiri. Adanya gangguan fungsi pada neuron pengemban kewaspadaan, menyebabkan koma kortikal bihemisferik, sedangkan apabila terjadi gangguan pada neuron penggalak kewaspadaan, menyebabkan koma diensefalik, supratentorial atau infratentorial.

Penurunan fungsi fisiologik dengan adanya perubahan-perubahan patologik yang terjadi pada koma yang berkepanjangan berhubungan erat dengan lesi-lesi sistem neuron kortikal diensefalik. Jadi prinsipnya semua proses yang menyebabkan destruksi baik morfologis (perdarahan, metastasis, infiltrasi), biokimia (metabolisme, infeksi) dan kompresi pada substansia retikularis batang otak paling rostral (nuklei intralaminaris) dan gangguan difus pada kedua hemisfer serebri menyebabkan gangguan kesadaran hingga koma. Derajat kesadaran yang menurun secara patologik bisa merupakan keadaan tidur secara berlebihan (hipersomnia) dan berbagai macam keadaan yang menunjukkan daya bereaksi di bawah derajat awas-waspada. Keadaan-keadaan tersebut dinamakan letargia, mutismus akinetik, stupor dan koma.

Bila tidak terdapat penjalaran impuls saraf yang kontinyu dari batang otak ke serebrum maka kerja otak menjadi sangat terhambat. Hal ini bisa dilihat jika batang otak mengalami kompresi berat pada sambungan antara mesensefalon dan serebrum akibat tumor hipofisis biasanya menyebabkan koma yang ireversibel. Saraf kelima adalah nervus tertinggi yang menjalarkan sejumlah besar sinyal somatosensoris ke otak. Bila seluruh sinyal ini hilang, maka tingkat aktivitas pada area eksitatorik akan menurun mendadak dan aktivitas otakpun dengan segera akan sangat menurun, sampai hampir mendekati keadaan koma yang permanen.


E.    Etiologi

Gangguan kesadaran disebabkan oleh berbagai faktor etiologi, baik yang bersifat intrakranial maupun ekstrakranial / sistemik. Penjelasan singkat tentang faktor etiologi gangguan kesadaran adalah sebagai berikut:

1.     Gangguan sirkulasi darah di otak (serebrum, serebellum, atau batang otak)

-        Perdarahan, trombosis maupun emboli

-        Mengingat insidensi stroke cukup tinggi maka kecurigaan terhadap stroke pada setiap kejadian gangguan kesadaran perlu digarisbawahi.

2.     Infeksi: ensefalomeningitis (meningitis, ensefalitis, serebritis/abses otak)

-        Mengingat infeksi (bakteri, virus, jamur) merupakan penyakit yang sering dijumpai di Indonesia maka pada setiap gangguan kesadaran yang disertai suhu tubuh meninggi perlu dicurigai adanya ensefalomeningitis.

3.     Gangguan metabolisme

-        Di Indonesia, penyakit hepar, gagal ginjal, dan diabetes melitus sering dijumpai.

4.     Neoplasma

-        Neoplasma otak, baik primer maupun metastatik, sering di jumpai di Indonesia.

-        Neoplasma lebih sering dijumpai pada golongan usia dewasa dan lanjut.

-        Kesadaran menurun umumnya timbul berangsur-angsur namun progresif/ tidak akut.

5.     Trauma kepala

-        Trauma kepala paling sering disebabkan oleh kecelakaan lalu-lintas.

6.     Epilepsi

-        Gangguan kesadaran terjadi pada kasus epilepsi umum dan status epileptikus

7.     Intoksikasi

-        Intoksikasi dapat disebabkan oleh obat, racun (percobaan bunuh diri), makanan tertentu dan bahan kimia lainnya.

8.     Gangguan elektrolit dan endokrin

-        Gangguan ini sering kali tidak menunjukkan “identitas”nya secara jelas; dengan demikian memerlukan perhatian yang khusus agar tidak terlupakan dalam setiap pencarian penyebab gangguan kesadaran.

 

 

 

Tabel. Contoh Mekanisme dan Penyebab Utama Koma (Kumar & Clark, 2006)

No

Mekanisme

Etilogi

1

Disfungsi otak difus

-        Overdosis obat, alcohol abuse

-        Keracunan CO, gas anestesi

-        Hipoglikemia, hiperglikemia

-        Hipoksia, cedera otak iskemik

-        Ensefalopati hipertensif

-        Uremia berat

-        Gagal hepatoselular

-        Gagal napas dengan retensi CO2

-        Hiperkalsemia, hipokalsemia

-        Hiponatremia, hipernatremia

-        Hipoadrenalisme, hipopituarisme, hipotiroidisme

-        Asidosis metabolik

-        Hipotermia, hipertermia

-        Trauma kepala tertutup

-        Epilepsi pascabangkitan umum

-        Ensefalitis, malaria serebral, septikemia

-        Perdarahan subaraknoid

-        Gangguan metabolik lainnya (mis. porfiria)

-        Edema otak karena hipoksia kronik

2

Efek langsung di batang otak

-        Perdarahan atau infark

-        Neoplasma misalnya glioma

-        Demielinasi

-        Sindrom Wernicke-Korsakoff

-        Trauma

3

Tekanan terhadap batang otak

-        Tumor hemisfere, infark, abses, hematoma, ensefalitis atau trauma

 

F.     Mengukur Tingkat Kesadaran

Menilai penurunan kesadaran, dikenal beberapa istilah yang digunakan di klinik yaitu kompos mentis, somnolen, stupor atau sopor, koma ringan dan koma. Terminologi tersebut bersifat kualitatif. Sementara itu, penurunan kesadaran dapat pula dinilai secara kuantitatif, dengan menggunakan skala koma Glasgow(Plum, Posner, Saper, & Schiff, 2007).


1.     Menentukan penurunan kesadaran secara kualitatif (Lumbantobing,  2010)

Kompos mentis berarti kesadaran normal, menyadari seluruh asupan panca indera (aware atau awas) dan bereaksi secara optimal terhadap seluruh rangsangan dari luar maupun dari dalam (arousal atau waspada), atau dalam keadaaan awas dan waspada.

Somnolen atau keadaan mengantuk. Kesadaran dapat pulih penuh bila dirangsang. Somnolen disebut juga sebagai : latergi, obtudansi. Tingkat kesadaran ini ditandai oleh mudahnya penderita dibangunkan, mampu memberi jawaban verbal dan menangkis rangsang nyeri. Sopor atau stupor berarti kantuk yang dalam. Penderita masih dapat dibangunkan dengan rangsang yang kuat, namun kesadarannya segera menurun lagi. Ia masih dapat mengikuti suruhan yang singkat, dan masih terlihat gerakan spontan. Dengan rangsang nyeri penderita tidak dapat dibangunkan sempurna. Reaksi terhadap perintah tidak konsisten dan samar. Tidak dapat diperoleh jawaban verbal dari penderita. Gerak motorik untuk menangkis rangsang nyeri masih baik.


Koma ringan (semi-koma). Pada keadaan ini tidak ada respon terhadap rangsang verbal. Reflex (kornea, pupil dan lain sebagainya) masih baik. Gerakan terutama timbul sebagai respons terhadap rangsang nyeri tidak terorganisasi, merupakan jawaban “primitif”. Penderita sama sekali tidak dapat dibangunkan.


Koma (dalam atau komplit). Tidak ada gerakan spontan tidak ada jawaban sama sekali terhadap rangsang nyeri yang bagaimanapun kuatnya. Delirium adalah suatu keadaan mental abnormal yang dicirikan oleh adanya disorientasi, ketakutan, iritabilitas, salah persepsi terhadap stimulasi sensorik, dan sering kali disertai dengan halusinasi visual. Tingkah laku yang demikian biasanya menempatkan penderita di alam yang tak berhubungan dengan lingkungannya, bahkan kadang penderita sulit mengenali dirinya sendiri. Keadaan ini dapat juga diselingi oleh suatu lucid interval. Biasanya delirium menimbulkan delusi seperti alam mimpi yang kompleks sistematis serta berlanjut sehingga tak ada kontak sama sekali dengan lingkungannya serta secara psikologis. Penderita umumnya menjadi banyak bicara, bicaranya keras, menyerang, curiga, dan agitatif. Keadaan ini timbulnya cepat dan jarang berlangsung lebih dari 4-7 hari namun salah persepsi dan halusinasinya dapat berlangsung sampai berminggu-minggu terutama pada penderita alkoholik atau penderita yang berkaitan dengan penyakit vaskuler kolagen. Keadaan delinum biasanya tampil pada gangguan-gangguan toksik dan metabolik susunan saraf seperti keracunan atropin yang akut, sindroma putus obat (alkohol-barbiturat), porfiria akut, uremia, gagal hati akut, ensefalitis, penyakit vaskuler kolagen. Bentuk status epileptikus yang melibatkan sistem limbik sering kali juga menimbulkan sindrom yang sulit dibedakan dengan keadaan delirium ini.

2.     Menentukan penurunan kesadaran secara kuantitatif(Lumbantobing, 2010)

Mengikuti perkembangan tingkat kesadaran dapat digunakan skala koma Glasgow yang memperhatikan tanggapan (respons) penderita terhadap rangsang dan memberikan nilai pada respons tersebut. Tanggapan/respons penderita yang perlu diperhatikan adalah:

Mata:

·       E1 tidak membuka matadengan rangsangnyeri

·       E2 membuka mata dengan rangsangnyeri

·       E3 membuka mata dengan rangsangsuara

·       E4 membuka mata spontan

Motorik:

·       M1 tidak melakukan reaksi motorik dengan rangsangnyeri

·       M2 reaksi deserebrasi denganrangsangnyeri

·       M3 reaksi dekortikasi denganrangsangnyeri

·       M4 reaksi menghampiri rangsangnyeri tetapi tidak mencapai sasaran

·       M5 reaksi menghampiri rangsangnyeri tetapi mencapai sasaran

·       M6 reaksi motorik sesuaiperintah

Verbal:

·       V1 tidak menimbulkan respon verbal dengan rangsangnyeri (none)

·       V2 respon mengerangdenganrangsangnyeri (sounds)

·       V3 respon kata denganrangsangnyeri (words)

·       V4 bicaradengan kalimat tetapi disorientasi waktu dan tempat (confused)

·       V5 bicaradengan kalimat dengan orientasi baik (orientated)

JikanilaiGCS14-13menandakansomnolen,12-9sopor,dankurangdari8menandakankoma.

Duaskala yang lebihsederhana ACDU (alert, confused, drowsy, unresponsive), dan AVPU (alert, respon to voice, respon to pain, unresponsive).Skala AVPU adalah cara mudah dan cepat untuk menilai tingkat kesadaran. Pemeriksaan ini ideal sebagai penilaian awal dan cepat, yaituterdiri dari (Dian & Basuki, 2012)

·       Alert

·       Responterhadapsuara

·       Responterhadapnyeri

·       Penurunankesadaran

AVPU termasuk kedalam beberapa sistem skor peringatan dini untuk pasien – pasien kritis, sebagai cara yang lebih sederhana dibanding dengan GCS, tetapi tidak cocok untuk observasi jangka panjang (Dian & Basuki, 2012).

G.   Penurunan Kesadaran di bawah Anestesia

Anestesiologi adalah cabang ilmu kedokteran atau ilmu pengetahuan yang meliputi pemberian tindakan anestesi, perawatan, dan terapi intensif pada pasien tertentu di ruang perawatan intensif (Intensive Care Unit/ ICU), terapi dan perawatan nyeri pada pasien dengan nyeri pascaoperasi atau pasien nyeri kanker, dan terapi inhalasi seperti pemberian gas oksigen untuk bantuan pernapasan. Anestesi adalah hilangnya seluruh modilitas dari sensasi yang meliputi sensasi sakit/ nyeri, rabaan, suhu, posisi, sedangkan analgesia yaitu hilangnya sensasi nyeri/ sakit, tetapi modalitas yang lain masih tetap ada (Pramono, 2015).

Di Amerika Serikat, hampir 60.000 pasien per hari menerima anestesi umum untuk operasi. Anestesi umum adalah diinduksikannya obat anestesi sehingga mengahsilkan kondisi reversibel yang mencakup sifat-sifat tertentu perilaku dan fisiologis berupa ketidaksadaran, amnesia, analgesia, dan akinesia dengan stabilitas seiring otonom, kardiovaskular, pernapasan,dan sistem termoregulasi (Brown, Lydic & Schiff, 2010).

Koma adalah keadaan unresponsiveness mendalam, biasanya merupakan hasil dari cedera otak parah. Pasien koma biasanya berbaring dengan mata tertutup dan tidak dapat dibangunkan untuk merespon dengan tepat terhadap rangsangan yang kuat. Seorang pasien koma mungkin meringis, menggerakkan anggota, dan memiliki respon penarikan stereotip terhadap rangsangan yang menyakitkan namun membuat tidak ada tanggapan lokalisasi atau gerakan defensif diskrit. Sebagai koma dalam, tanggap pasien bahkan pada stimulus yang menyakitkan dapat berkurang atau hilang. Meskipun pola aktivitas EEG diamati pada pasien koma tergantung pada sejauh mana cedera otak, mereka sering menyerupai tinggi amplitudo, aktivitas frekuensi rendah terlihat pada pasien di bawah anestesi umum (Plum, Posner, Saper, & Schiff, 2007). Pada kenyataannya, koma akibat obat anestesi umum bersifat reversibel. Namun demikian, ahli anestesi menyebutnya sebagai “tidur” untuk menghindari kegelisahan pasien. Sayangnya, ahli anestesi juga menggunakan kata “tidur” dalam deskripsi teknis untuk merujuk tidak sadarkan diri yang disebabkan oleh obat bius (Brown, Lydic & Schiff, 2010).

Mekanisme ketidaksadaran akibat genaral anestesia dijelaskan sebagai berikut

1.     Sirkuit Kortikal dan Gangguan yang Diubah

Pengamatan dari praktik klinis dan sains dasar menunjukkan bahwa obat anestesi menginduksi ketidaksadaran dengan mengubah neurotransmisi di multipel yang terletak di korteks serebral, batang otak, dan thalamus. Suatu prosedur yang memerlukan anestesi umum tidak secara penuh, secara standar praktik klinis menggunakan obat hipnotik atau sedatif dosis rendah mencapai sedasi, didefinisikan sebagai berkurangnya fungsi kognitif (aktivitas kortikal), fungsi pernapasan dan kardiovaskular (batang otak) dengan utuh. Penurunan substansial dalam aktivitas saraf di korteks telah diamati dalam model tikus yang diberi anestesi umum. Demikian pula, emisi positron studi tomografi pada manusia di bawah anestesi umum

mengungkapkan penurunan kortikal yang cukup besar aktivitas metabolik. Magnetik fungsional pencitraan resonansi33 dan rekaman potensi lapangan lokal pada manusia telah memberikan tambahan bukti mekanisme kortikal ketidaksadaran akibat induksi anestesi umum.

2.     Batang Otak, Tidur, dan Perubahan Rangsangan

Obat hipnotik diberikan sebagai bolus selama induksi anestesi umum dengan cepat mencapai pusat-pusat rangsangan batang otak, di mana ia berkontribusi hingga tidak sadarkan diri. Tanda-tanda klinis refleks okulosefalus dan kornea adalah indikator spesifik dari gangguan fungsi batang otak karena aksi agen hipnotis pada oculomotor, trochlear, abducens, trigeminal, dan nuklei wajah di otak tengah dan pons.

Dalam sebuah penelitian pada hewan pengerat, injeksi langsung barbiturat ke daerah tegmental mesopontine menyebabkan ketidaksadaran. Pengamatan tersebut  menegaskan studi bahwa ketidaksadaran batang-otak melibatkan punggung lateral area tegmental pons dan otak tengah paramedian region.

Tabel Gambaran EEG pada Munculnya dari Anestesi Umum dan Tahapan Pemulihan dari Coma

Munculnya dari Anestesi Umum

Pemulihan dari Koma

Anestesi umum

Pemberian obat anestesi, tidak ada rangsangan, tidak responsif; mata tertutup, dengan pupil reaktif

Analgesia, akinesia

Tekanan darah dan detak jantung yang dikendalikan obat

Ventilasi yang dikontrol secara mekanis

Pola EEG mulai dari aktivitas delta dan alfa hingga penekanan burst

 

Kematian batang otak

Tidak ada respons pernafasan terhadap oksigenasi (apnea)

Hilangnya total refleks batang otak

Pola Isoelektrik EEG

Koma

Kerusakan otak struktural pada kedua belahan otak, dengan atau tanpa

cedera pada otak tengah tegmental, pons rostral, atau keduanya

Cedera bilateral yang terisolasi pada otak tengah tegmental garis tengah, rostral pons, atau keduanya

Tidak ada rangsangan, tidak responsif

Batang otak yang berfungsi utuh, gas darah arteri normal

Pola EEG aktivitas delta amplitudo rendah dan semburan terputus-putus

aktivitas theta dan alpha atau mungkin penekanan brust


 

Munculnya, fase 1

Penghentian obat anestesi

Pembalikan relaksasi otot-perifer (akinesis)

Transisi dari apnea ke pernapasan tidak teratur ke pernapasan teratur

Peningkatan aktivitas alfa dan beta pada EEG

Munculnya, fase 2

Peningkatan denyut jantung dan tekanan darah

Kembalinya respons otonom

Daya tanggap terhadap rangsangan yang menyakitkan

Salivasi (inti saraf kranial ke-7 dan ke-9), Robek (inti saraf kranial ke-7)

Meringis (inti saraf kranial 5 dan 7)

Menelan, tersedak, batuk (inti saraf kranial 9 dan 10) Kembalinya tonus otot (sumsum tulang belakang, saluran retikulospinal, ganglia basal, dan saluran motor primer), Postur defensif

Peningkatan aktivitas alfa dan beta lebih lanjut pada EEG, Kemungkinan ekstubasi, Keadaan vegetatif

Keadaan vegetatif

Respon spontan kembali berfunsgi dan menutup mata secara spontan

Gerakan meringis dan tidak bertujuan

Pola EEG delta amplitudo tinggi dan aktivitas theta

Tidak adanya fitur EEG dari tidur

Biasanya dapat berventilasi tanpa dukungan mekanik


 

Munculnya, fase 3

Membuka mata

Menanggapi beberapa perintah lisan

Pola bangun pada EEG

Kemungkinan ekstubasi

Keadaan sadar minimal

Pergerakan, pergerakan mata

Komunikasi yang tidak konsisten, verbalisasi

Mengikuti perintah lisan

Kembalinya siklus tidur-bangun

Pemulihan beberapa fitur EEG dari  tidur-bangun normal

 

 

 

 

 

 

 


 

DAFTAR PUSTAKA

 

Brown, EN., Lydic, R., Schiff, ND. 2010. General Anesthesia, Sleep, and Coma.

The New England Journal of Medicine. Inggris.

 

Dian S, Basuki A, 2012. Altered  consciousness basic, diagnostic, and

management. Bagian/UPF ilmu penyakit saraf. Bandung.

 

Kumar,P. & Clark,M. 2006 Clinical Medicine, 6th ed. Elsevier Saunders,

Edinburgh London.

 

Lumbantobing SM. 2010. Neurologi klinik pemeriksaan fisik dan mental. Balai

penerbit FKUI. Jakarta.

 

PlumF, PosnerJB, SaperCB, SchiffND. 2007. Plum and Posner’s Diagnosis of

Stupor  and Coma. Ed.  IV. Oxford University Press.  NewYork.

 

Pramono, A. 2015. Buku Kuliah Anestesi. Jakarta : EGC